Powered By Blogger

Sunday, December 30, 2018

Jangan Goda Aku, Aku Sudah Milik-NYA

Obrolan larut malam:
Tantangan menjadi seorang imam

Lewat perbincangan sederhana antara pemuda dan bapak-bapak di sebuah rumah sederhana dan desa di pinggir jalur antar negara, tercetus ide untuk menulis perbincangan ini. Berkumpul hingga larut malam dalam suasana Natal pembicaraannya dari keseharian, horror, negara, masalah desa hingga iman. Wow luar biasa ya!

Pembicaraan yang menarik menurut saya adalah tentang panggilan hidup seorang imam.

Imam dalam pengertian kristiani adalah seorang yang menerima Sakramen Imamat, salah satu dari Tujuh Sakramen. Seseorang yang memutuskan diri untuk menjalani hidup menjadi seorang Imam adalah suatu panggilan. Sama halnya dengan seseorang yang memutuskan untuk menikah, berarti ia telah menerima konsekuensi seumur hidup selayaknya menjalani hidup sebagai seorang yang berkeluarga/ berumah tangga, memiliki keturunan serta mendidik anaknya sebagaimana janji dalam Sakramen Perkawinan yang ia jalani. Begitu pula seorang imam. Ia pun semestinya menjalani panggilan hidupnya seperti yang telah dimateraikan dalam Sakramen Imamat yang ia terima dari Allah, dengan segala konsekuensinya.

Terjadi masalah.
Inilah aib Gereja dan sebenarnya sulit bagi saya ketika memutuskan untuk membuat tulisan ini. Namun seharusnya Gereja (umat Allah) tahu permasalahan ini, bahwa Gereja yang semestinya menjadi cerminan dalam masyarakat luas memiliki kewajiban mengarahkan yang mulai sudah rusak dan meluruskan yang terlanjur sesat jalannya.

Mengacu pada tugas imam adalah gembala umat. Tugas sebagai gembala yang diwariskan Kristus pada umat-Nya menitikberatkan pada tugas sebagai pembimbing umat Allah agar selamat menuju Sang Keselamatan itu sendiri. Berbicara kenyataan yang terjadi dalam komunitas Gereja, beberapa dari imam sang gembala itu sendiri yang akhirnya tersesat bahkan terkesan menyesatkan dirinya dengan cara mengingkari panggilan suci yang telah dimateraikan dalam Sakramen Imamat pada tahbisan yang sakral itu. Bersedia ditahbiskan sebagai imam artinya seorang pribadi telah melewati masa pembedaan roh yang menuntun dirinya pada tahbisan suci itu, dengan segala kaul-kaul yang mesti ia taati; namun kenyataan yang terjadi adalah sebuah pembuktian nyata dalam pengingkaran sumpah dengan segudang alasanya. Figur imam sang sosok yang patut diteladani hilang, sosok Allah yang hadir dalam berkat imam menimbulkan keraguan pada umat, kata-kata baik dan semua nasihat yang ia ucapkan dalam homili maupun dalam keseharian sirna seketika. Nah jika terjadi demikian, alasan apa yang hendak disampaikan pada Gereja sebagai Umat Allah? Panutan mana lagi yang akan dicari? Kesatuan Gereja jika seperti ini apakah dapat dipererat lagi?

Kembali pada awal mengapa saya hingga menuliskan ini, karena terinspirasi dari pembicaraan sederhana para pemuda dan bapak-bapak yang membahas tentang ini. Kelompok kecil ini adalah bagian terkecil dari jeritan hari Gereja yang merasa tersakiti. Imam dan kaum awam adalah bentuk perutusan panggilan suci dalam menjalani hidup dengan jalannya masing-masing. Ide atau gagasan yang muncul saat itu adalah menyelamatkan panggilan imam. Mengingat susahnya menjalani panggilan imamat, sudah semestinya kaum awam segera menyadarkan diri bahwa betapa berartinya imam dalam Gereja. Imam merupakan salah satu kaum religius yang menjadi tanda sekaligus kekuatan umat Kristiani. Pagar Doa dan Berkat nampak nyata pada kaum religius, terlebih nampak begitu nyata pada para imam. Oleh karena itu, hendaknya kaum awam dapat saling mengingatkan agar dapat menjaga kesucian panggilan imam dan membiarkan mereka dalam kesetian panggilan mampu menjalaninya hingga akhir hayatnya, bahkan kita sebagai kaum awam senantiasa mendoakan para imam agar semakin setia dalam panggilan, selalu sehat dan bersemangat menjadi perpanjangan Tuhan di dunia hingga muncul generasi baru yang dapat menjalani dan meneruskan panggilan suci sebagai seorang imam.

Demikian salah satu topik obrolan ini saya simpulkan dalam sebuah tulisan.

0 comments:

Post a Comment