Sebuah Refleksi Iman di Era Digital
Perkembangan media sosial dengan disertai kemajuan gadget menjadikan para konsumennya semakin mudah untuk melakukan dengan bebas apapun yang diinginkannya. Saat ini banyak bertebaran informasi-informasi yang berguna bagi kehidupan sehari-hari, misalnya ada postingan cara merawat tanaman rumah, kampanye pelestarian lingkungan hidup, pelestarian budaya hingga ke ranah agama. Namun tak bisa dipungkiri juga berita-berita hoax, paham sesat, atau artikel yang bersifat radikal juga banyak bertaburan di berbagai media sosial. Sekalipun telah dibentuk Cyber Crime oleh pemerintah untuk mengontrol/ mengawasi peredaran berita di media sosial namun tetap saja ada pihak yang merasa dirugikan dan ada pihak yang masih dengan lepas bebas berkicau/ nyinyir via media sosial tanpa peduli hak-hak serta privasi pribadi maupun suatu kelompok dalam masyarakat.
Di sisi lain, ada juga beberapa orang yang memanfaatkan media sosial untuk tempat berkeluh kesah, menyatakan perasaannya, hingga memaki orang lain yang tidak sepaham dengannya.
Lain lagi dengan adanya anggapan beberapa orang yang seolah-olah Tuhan juga aktif di media sosial sehingga membuat kalimat doa kemudian mem-postingnya.
Dampak apa yang didapatnya?
Apakah doanya dikabulkan?
Atau suatu kepuasan tersendiri yang ia dapat?
Melihat secara lebih dekat lagi mengapa ada orang yang memanfaatkan aplikasi pada media sosial untuk "memberitahukan" isi hatinya pada Tuhan? Namun pertanyaan lebih lanjut lagi, apakah benar ungkapan isi hati (doa) tersebut ditujukan untuk Tuhan? Jika dihubungkan dengan iman, jelas bahwa orang yang menuliskan kalimat doa dan mempostingnya pada media sosial merupakan orang yang meragukan ke-Mahakuasa-an Allah yang katanya dia imani sekaligus perlu dipertanyakan kualitas imannya; atau ada maksud lain dibalik postingan doa tersebut?
Melihat fenomena penggunaan media sosial belakangan ini, beberapa orang memandang media sosial hanya untuk mencari ketenaran saja, mendulang like, share atau subscribe. Yang lebih dipentingkan bukan lagi unsur imannya, namun perhatian orang-orang yang membaca postingan doa tersebut. Ada orang tertentu akan merasa puas jika postingan doanya mendapat banyak tanggapan dari orang-orang yang aktif di media sosial, sehingga unsur duniawinya akan terpuaskan disitu, termasuk ada unsur pamer ketaatan di dalamnya. Hubungan intim dengan Bapa, Putera dan Roh Kudus dalam doa dikesampingkan karena lebih memilih bentuk perhatian manusia. Wajar jika apa yang diinginkan atau harapan dalam isi doa tidak terpenuhi maka akan berganti umpatan atau bentuk kekecewaan pada Tuhan karena dari awal unsur duniawi yang dipentingkan daripada unsur ilahi.
Kembali pada fenomena pengungkapan doa di media sosial. Ajakan Yesus tepat adanya, bahwa ketika kita berdoa artinya seluruh perhatian diri kita baik itu pikiran dan hati termasuk di dalamnya adalah sikap dalam penampilan ragawi tertuju pada Allah Tritunggal. Dalam fenomena ini, tidak ditemukan sisi Ilahi pada doa itu sendiri, bahkan yang nampak adanya kesan minta perhatian orang lain atau pamer ketaatan berdoa. Hubungan intim manusia dan Allah tidak terjadi.
Berbanding terbalik dengan apa yang diajarkan oleh Yesus kepada para murid-Nya; Yesus dengan tegas mengatakan bahwa jika kamu berdoa janganlah pamer, jangan menampakkan diri bahwa kamulah yang paling taat namun jika kamu berdoa masuklah ke kamarmu dan temui Dia di tempat yang sunyi sebab Dia yang tersembunyi akan mendengarkan doamu.
Hal ini menandakan bahwa dalam berdoa kita tidak perlu menampakkan unsur pamer bahkan seolah-olah kamu meminta pengakuan dari banyak orang bahwa kamulah yang terbaik dalam berdoa. Iman dan kasihmu yang akan dipandang Allah dalam mengungkapkan doa.
Dengan bercermin pada keadaan dunia yang penuh dengan segala unsur sekularnya ini, mungkinkah Allah sedang mendesak kita merenungkan ketulusan hidup doa kita dan juga praktik keagamaan kita sendiri sekarang, baik sebagai individu-individu maupun sebagai Gereja?
By: John Ariyo