Refleksi seorang guru
Pagi itu, sekitar pukul 8.40 seorang siswi, sebut saja Bunga (bukan nama sebenarnya) menemui saya. Setengah berlari dengan kondisi yang
berlinang air mata dia bercerita dengan terbata-bata bahwa dirinya baru saja
diejek teman sekelas. Walau saat itu sedang
jam istirahat, sebagai seorang walikelas hal pertama yang saya pikirkan adalah
mengkondisikan Bunga agar dia merasa aman dan terlindungi. Lonceng tanda
selesai jam istirahat berbunyi ketika itu saya tunggu beberapa orang teman
sekelas Bunga menemui saya di kantor. Sedikit menginterogasi dan sekedar “kroscek” kejadian yang sebenarnya disertai dengan
nasihat bla..bli….bluu… akhirnya didapat suatu kesepakatan bahwa bersedia saling
memaafkan dan tidak boleh ada lagi yang saling ejek dimana pun berada.
Guru merupakan suatu profesi, namun dibalik profesi
tersebut, untuk memutuskan menjadi guru berarti secara sukarela juga mengemban
profesi lainnya yang tidak dibuat SK (Surat Keputusan) oleh pihak yang
berwenang. Dalam hal ini guru bermain peran lebih dari satu, selain sebagai
pendidik ia juga seorang pembimbing bahkan sebagai pribadi yang mengayomi
layaknya induk ayam yang setia melindungi anak-anaknya; terlepas dari ada atau
ketidak-adaan guru khusus yang menangani bidang konseling.
Di
beberapa negara, profesi guru sangat dimuliakan dan dihargai setinggi-tingginya
baik oleh masyarakat maupun pemerintahnya, tentu berkaitan dengan
profesionalitas guru itu sendiri. Memutuskan untuk menjadi guru harusnya setara
dengan seorang yang mengikrarkan janji sehidup semati dalam untung dan malang
di hadapan Tuhan dan manusia untuk suatu perkawinan suci. Janji perkawinan yang
diucapkan secara sadar dan akan menjaganya sampai maut memisahkan merupakan
suatu simbol dari sebuah keputusan yang tidak main-main. Demikian juga halnya
memutuskan untuk mengemban suatu profesi sebagai guru. Dalam falsafah Jawa,
guru itu harus menjadi tauladan yang di “gugu lan ditiru”. Guru dianggap
sebagai pribadi yang tidak hanya mendidik dan mentransformasi pengetahuan dalam
kelas atau hanya sebatas melaksanakan tugas mengajar pada jam pelajaran yang
diampu, melainkan lebih dari itu. Guru berperan sebagai aktor dalam pertunjukan
nyata di dunia pendidikan. Dia bertindak sebagai pendidik pada profesi bidang
latar belakang kependidikannya hingga mampu mengarahkan naradidiknya menjadi
pribadi yang unggul di bidangnya, dia akan bertindak sebagai psikolog apabila seorang
siswa berperilaku tidak jujur atau mengadu terjadi permasalahan di rumahnya, seorang
guru juga bisa menjadi seorang petugas cleaning
service karena ia harus memberi contoh pada naradidiknya bahwa memelihara
kebersihan adalah bagian dari kepribadian yang murni dan pada saat tertentu
guru juga bisa jadi Superman,
misalnya ketika upacara bendera ia harus mengangkat sendiri siswa yang berbadan
besar pingsan sementara dia sendiri berbadan mungil, seorang guru juga seorang
pustakawan apabila tumpukan koreksian
(buku kerja siswa) serta hasil prakarya para siswa dia susun dengan rapi dan
guru juga seorang motivator handal yang tidak kalah dengan Mario Teguh.
Masih banyak profesi-profesi dan pekerjaan-pekerjaan
tambahan yang mengarah pada keahlian dan ketrampilan seorang guru. Tidak salah
juga apabila ada spanduk yang bertuliskan “tanpa
kami tidak akan ada para wakil rakyat, walikota, gubernur dan wakil gubernur”
di barisan demo guru-guru se-Kalbar pada Senin, 27 Juni 2016 yang lalu. Oleh
karena itu secara tidak langsung guru dituntut pandai dan mampu menjadi ujung
tombak dalam setiap aspek perkembangan masyarakat.

Nah inilah sekelumit suka dan dukanya menjalani profesi
sebagai guru. Namun jangan kawatir, memutuskan menjadi seorang guru berarti
sudah tahu bahwa namanya sudah tercatat di surga, terlebih guru agama.
Tetap Bersemangat !!
By: JAP
0 comments:
Post a Comment