Powered By Blogger

Thursday, November 29, 2018

GURUKAH AKU?


Refleksi seorang guru

Pagi itu, sekitar pukul 8.40 seorang siswi, sebut saja Bunga (bukan nama sebenarnya) menemui saya. Setengah berlari dengan kondisi yang berlinang air mata dia bercerita dengan terbata-bata bahwa dirinya baru saja diejek teman sekelas. Walau saat itu sedang jam istirahat, sebagai seorang walikelas hal pertama yang saya pikirkan adalah mengkondisikan Bunga agar dia merasa aman dan terlindungi. Lonceng tanda selesai jam istirahat berbunyi ketika itu saya tunggu beberapa orang teman sekelas Bunga menemui saya di kantor. Sedikit menginterogasi dan sekedar “kroscek” kejadian yang sebenarnya disertai dengan nasihat bla..bli….bluu… akhirnya didapat suatu kesepakatan bahwa bersedia saling memaafkan dan tidak boleh ada lagi yang saling ejek dimana pun berada.

         Guru merupakan suatu profesi, namun dibalik profesi tersebut, untuk memutuskan menjadi guru berarti secara sukarela juga mengemban profesi lainnya yang tidak dibuat SK (Surat Keputusan) oleh pihak yang berwenang. Dalam hal ini guru bermain peran lebih dari satu, selain sebagai pendidik ia juga seorang pembimbing bahkan sebagai pribadi yang mengayomi layaknya induk ayam yang setia melindungi anak-anaknya; terlepas dari ada atau ketidak-adaan guru khusus yang menangani bidang konseling.
        Di beberapa negara, profesi guru sangat dimuliakan dan dihargai setinggi-tingginya baik oleh masyarakat maupun pemerintahnya, tentu berkaitan dengan profesionalitas guru itu sendiri. Memutuskan untuk menjadi guru harusnya setara dengan seorang yang mengikrarkan janji sehidup semati dalam untung dan malang di hadapan Tuhan dan manusia untuk suatu perkawinan suci. Janji perkawinan yang diucapkan secara sadar dan akan menjaganya sampai maut memisahkan merupakan suatu simbol dari sebuah keputusan yang tidak main-main. Demikian juga halnya memutuskan untuk mengemban suatu profesi sebagai guru. Dalam falsafah Jawa, guru itu harus menjadi tauladan yang di “gugu lan ditiru”. Guru dianggap sebagai pribadi yang tidak hanya mendidik dan mentransformasi pengetahuan dalam kelas atau hanya sebatas melaksanakan tugas mengajar pada jam pelajaran yang diampu, melainkan lebih dari itu. Guru berperan sebagai aktor dalam pertunjukan nyata di dunia pendidikan. Dia bertindak sebagai pendidik pada profesi bidang latar belakang kependidikannya hingga mampu mengarahkan naradidiknya menjadi pribadi yang unggul di bidangnya, dia akan bertindak sebagai psikolog apabila seorang siswa berperilaku tidak jujur atau mengadu terjadi permasalahan di rumahnya, seorang guru juga bisa menjadi seorang petugas cleaning service karena ia harus memberi contoh pada naradidiknya bahwa memelihara kebersihan adalah bagian dari kepribadian yang murni dan pada saat tertentu guru juga bisa jadi Superman, misalnya ketika upacara bendera ia harus mengangkat sendiri siswa yang berbadan besar pingsan sementara dia sendiri berbadan mungil, seorang guru juga seorang pustakawan apabila tumpukan koreksian (buku kerja siswa) serta hasil prakarya para siswa dia susun dengan rapi dan guru juga seorang motivator handal yang tidak kalah dengan Mario Teguh.
        Masih banyak profesi-profesi dan pekerjaan-pekerjaan tambahan yang mengarah pada keahlian dan ketrampilan seorang guru. Tidak salah juga apabila ada spanduk yang bertuliskan “tanpa kami tidak akan ada para wakil rakyat, walikota, gubernur dan wakil gubernur” di barisan demo guru-guru se-Kalbar pada Senin, 27 Juni 2016 yang lalu. Oleh karena itu secara tidak langsung guru dituntut pandai dan mampu menjadi ujung tombak dalam setiap aspek perkembangan masyarakat.
Tanpa mengabaikan berat ringannya tanggung jawab pada pekerjaan, berprofesi sebagai guru dan pekerjaan menjadi sopir truk ada kesamaan dan banyak sekali perbedaannya; kesamaannya adalah keduanya sama-sama pekerjaan yang berat walau ada segelintir orang berpendapat “gampang menjadi guru”. Menjalani profesi guru akan terasa berat apabila tanggungjawab belum selesai misalnya nilai siswa belum terkumpul padahal sudah melewati batas waktu pengumpulan nilai, apabila koreksian menumpuk mau tidak mau harus dibawa pulang ke rumah karena harus cepat dikembalikan pada siswa. Perbedaannya dengan seorang sopir truk; guru harus mempersiapkan materi ajar yang akan dilaksanakan pada esok harinya sedangkan sopir truk tidak perlu repot-repot untuk mempersiapkan materi ajar karena dia bukan guru (smile..).
      Nah inilah sekelumit suka dan dukanya menjalani profesi sebagai guru. Namun jangan kawatir, memutuskan menjadi seorang guru berarti sudah tahu bahwa namanya sudah tercatat di surga, terlebih guru agama.

Tetap Bersemangat !!


By: JAP


0 comments:

Post a Comment