BAB I
INTISARI BUKU
REKONSTRUKSI IDENTITAS DAYAK
Siapa yang tidak mampu untuk tidak memberikan apresiasinya serta
mengucapkan “Proficiat” pada pengarang buku ini. Sebagai seorang yang terlahir dalam
lingkungan masyarakat Dayak dan berjiwa Dayak, buku yang ditulis oleh Dr. Andreas
Muhrotien., M.Si dengan judul Rekonstruksi
Identitas Dayak ini
merupakan karya terbaik khususnya bagi masyarakat Dayak sendiri untuk mengenal
secara lebih dekat mengenai identitas terluhurnya. Di awal pembahasan buku ini
dikatakan bahwa konflik-konflik yang muncul antara etnis Dayak dengan suku lain
atau antar sesama Dayak disebabkan oleh identitas sosial pribadi orang Dayak
itu sendiri masih terbelakang. Hal ini muncul dengan sendirinya dengan
pengkondisian yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda sebelum tahun
1946 (karena tanggal 30 September 1946, orang Dayak mulai terlibat dalam dunia
politik dan birokrasi).
Tampilnya orang Dayak di panggung
politik dan birokrasi mulai menguatkan secara perlahan identitas Dayak di
Kalimantan Barat. Identitas itu dari waktu ke waktu semakin menguat seiring
terjadinya konflik-konflik yang melibatkan suku Dayak serta diberlakukannya
Otonomi Daerah di Kalimantan Barat. Di lain sisi peran simbol-simbol dalam hal
ini sungguh berpengaruh baik itu simbol agama maupun simbol kebudayaan. Oleh
kerena itu penulis buku ini dengan berani dan tentunya berdasarkan penelitian
yang luar biasa telah membagi dari tiga kabupaten (perwakilan) dan menggali
sekaligus mengupas tuntas identitas Dayak di era Otonomi Daerah.
BAB II
LATAR BELAKANG
Berawal pada kegelisahan akademik
penulis berkaitan dengan isu etnisitas yang dikaitkan secara langsung dengan
konflik-konflik di beberapa daerah di Kalimantan Barat, penulis merasa
terpanggil untuk menyelami lebih dalam lagi tentang etnisitas maupun yang
berkaitan dengan identitas Dayak itu sendiri. Dalam kesempatan menyusun
disertasi untuk program Doktor pada Program Studi Agama dan Lintas Budaya,
Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, penulis melakukan
penelitian dan diakhir penyusunan disertasi tersebut pada bulan Pebruari 2012 cetakan
pertama diluncurkan sebuah buku yang diberi judul Rekonstruksi Identitas Dayak khusus menyoroti peristiwa-peristiwa
dan teori-teori pendukung yang akhirnya diharapkan mampu membangun identitas
Dayak di era Otonomi Daerah.
Seperti yang dikatakan diawal tadi
bahwa munculnya etnis Dayak dalam panggung politik dan birokrasi di Kalimantan
Barat merupakan suatu tanda adanya kebangkitan setelah tidur panjang. Kekuasaan
pusat pun secara tidak langsung ikut memberi signal agar masyarakat Dayak
khususnya segera sadar akan keterpurukan yang berlangsung sekian lama itu dan
bangun secepatnya. Melalui Otonomi Daerah pemerintah ingin memberikan pelayanan
khusus bagi daerah-daerah di wilayahnya selain diharapkan mampu membangun
sendiri pemerintah juga mengharapkan adanya sumbangsih positif dari daerah yang
diberi hak otonomi.
Melalui program Otonomi Daerah
sebetulnya pemeritah “dengan cara lain” bermaksud melakukan pendekatan pada
daerah-daerah konflik. Dengan kata lain, hak otonomi diberikan untuk
“meninabobokan” masyarakat yang sudah terlanjur tersulut emosi sekaligus benci baik
terhadap pemerintah maupun yang berkaitan dengan temperamen psikologis
masyarakat yang mudah marah, berbuat kasar atau segala permasalahan baik itu
masalah sepele maupun masalah berat selalu diselesaikan dengan “otot”.
Masyarakat Dayak sebetulnya lebih
terbuka terhadap masuknya pengaruh-pengaruh luar baik itu yang berkaitan dengan
budaya, agama maupun ekonomi. Salah satu contoh konkretnya ialah orang asing
(orang yang bukan dari suku Dayak) yang kebetulan lewat dan singgah atau
bermaksud hanya sekedar bertamu selalu disambut dengan baik, dilayani sebaik
baiknya karena pada dasarnya orang Dayak itu adalah orang-orang yang peramah.
Mereka memiliki prinsip, “asal orang lain tidak terlebih dahulu mengganggu maka
kami tidak akan mengganggu”. Hal ini berarti siapa saja selalu diterima dengan
baik asalkan tidak membuat ulah di lingkungan atau dengan orang Dayak. Hingga
sekarang etnis Dayak masih berpedoman pada hukum “mata ganti mata, gigi ganti
gigi dan jika nyawa melayang harus dibalas juga dengan nyawa”. Hal inilah yang
membangun paradigma bagi orang di luar etnis Dayak, terlebih masyarakat di luar
pulau Kalimantan misal salah satunya pulau Jawa. Saya sendiri pernah mengalami
situasi yang memancing emosi. Ketika kuliah di Pulau Jawa, saya sebagai orang
Dayak dianggap suka makan orang, suka berkelahi, dan dianggap kolot. Namun
sebagai akademisi saya menyikapinya dengan harap maklum dan mencoba membuktikan
sendiri bahwa anggapan mereka salah total.
Melalui buku Rekonstruksi Identitas Dayak ini lebih banyak diharapkan masyarakat
non-Dayak dan orang Dayak yang masih mencari identitasnya membaca buku ini agar
paradigma-paradigma salah serta pemikiran-pemmikiran yang masih keliru tentang
orang Dayak mendapat pencerahan sehingga lebih terbangun suasana saling
memahami dan terlebih lagi jangan sampai ada pertikaian yang akhirnya menghilangkan
banyak nyawa, kerugian materi maupun dendam secara psikologis yang tiada henti yang terbangun dari generasi
ke generasi.
BAB III
MENEMUKAN
IDENTITAS DIRI
DALAM BUKU
REKONSTRUKSI IDENTITAS DAYAK
Masyarakat Dayak Dulu dan Saat Ini
Berbicara mengenai sejarah orang Dayak berarti ikut juga berikut
membicarakan budayanyakarena masyarakat Dayak tidak terlepas dari kebiasaannya
terutama dekat dengan alam. Kedekatan masyarakat Dayak terhadap alam sejak
dahulu dapat diibaratkan sebagai keluarga sendiri, dimana alam merupakan tempat
berlindung, alam tempat memenuhi hidup, alam yang memberi kekuatan untuk
melepaskan diri dari kajahatan. Orang Dayak tergantung dengan alam bukan
berarti mengesampingkan perkembangan modernitas. Kepercayaan yang telah
diturunkan secara turun temurun oleh nenek moyang orang Dayak berkaitan dengan
kekuatan alam masih dilanjutkan hingga saat ini.
Sebelum mengenal agama (terutama agama Katolik dan Protestan) masyarakat
Dayak percaya bahwa alam menyimpan kekuatan besar sehingga mampu memberi mereka
penghidupan. Tidak heran jika masyarakat Dayak yang masih animisme atau dapat dikatakan belum menganut agama, memberi persembahan
di bawah pohon-pohon besar, pada batu yang dikeramatkan, atau di
tikungan-tikungan jalan. Mereka meyakini kekuatan yang maha besar itu menghuni
tempat-tempat yang telah diyakini daerah huniannya, dimana hunian “kekuatan
besar” itu juga di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian masyarakat Dayak
hidup berdampingan dengan “yang maha kuasa” tersebut.
Masyarakat Dayak seolah memiliki ikatan khusus dengan alam sejak zaman
dahulu sehingga tidak heran komunikasi antara pribadi dan alam sangat erat.
Masyarakat Dayak tidak mau membuat alam marah dengan sewenang-wenang
mengeksploitasinya. Dalam bukunya yang berjudul Rekonstruksi Identitas Dayak, Andreas 2012: 63 memberi pernyataan:
Contoh pernyataan nyata manusia Dayak sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap
alam terlihat dalam hal musibah. Ketika terjadi musibah, tanah rantak (tanah longsor), pembangunan berskala besar, perbuatan
zinah, dan pembunuhan, manusia harus melaksanakan upacara ritual besar dan
lengkap. Upacara ritual seperti ini disebut ngadati’
ai’ tanah, palayo palansar, tumpuk tampat kadiaman (mengadati air dan
tanah, wilayah kerja untuk mendapatkan rezeki, tempat tinggal). Ritual ini
mmerupakan tanda komunikasi dari manusia agar hubungan antara manusia dan alam
yang telah rusak dipulihkan kembali. Tanah longsor, rusak dan kotor karena
perbuatan manusia dipahami sebagai alam yang “sakit”. Kondisi alam yang seperti
itu merupakan tanggungjawab manusia sebagai “tetangga alam” untuk
memulihkannya. Ini semua dilakukan agar kekotoran dan kerusakan alam tidak
bberlarut-larut sehingga menyiksa dan menyengsarakan manusia. Sebagai sebuah
sistem, ketika salah satu unsur mengalami kerusakan, maka unsur-unsur yang lain
secara otomatis tidak dapat berfungsi dengan baik.
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama berkaitan dengan kisah penciptaan, ketika
manusia telah diciptakan, Allah memberi kepercayaan pada manusia untuk
mengambil dan mengolah ciptaan lainnya untuk digunakan seperlunya demi
kepentingan manusia itu sendiri. Masyarakat Dayak pun melakukan demikian juga.
Sangat tidak benar jika dalam pemberitaan masyarakat Dayak merusak alam; mereka
yang menyebabkan bencana alam dan kerusakan lingkungan lainnya. Demi sebuah
“kepentingan” masyarakat Dayak menjadi masyarakat terbelakang dan telah
mengantongi identitas “udik”/ kampungan dan sebagainya sebagai tanda orang
Dayak harus dihindari. Sekali lagi, masyarakat Dayak sangat menghargai alam
karena pada alam mereka hidup dan dengan alam mereka menyatu serta di alam itu
hidup pula kekuatan besar serta makhluk-makhluk tak terlihat yang saling
menghormati dengan manusia.
Dalam pandangan secara global masyarakat dulu dan sekarang memang
mengalami perubahan baik dari segi lingkungan, kebudayaan maupun pola pikirnya.
Dari segi lingkungan yang dalam hal ini adalah alam tempat tinggal. Di
Kalimantan Barat, etnis Dayak dikenal selain dengan sebutan suku Dayak juga
dikenal dengan suku pegunungan (perbukitan) karena tinggal di dataran tinggi
hingga ke hutan-hutan dalam. Nenek moyang suku Dayak pada zaman dahulu memiliki
hidup nomaden atau berpindah-pindah. Mereka biasanya hidup di satu tempat hanya
dalam jangka waktu tertentu dan biasanya ini tergantung dengan lahan ladang
yang ditanami padi atau tanaman pokok lainnya. Salah satu tujuan hidup nomaden
yang dilakukan oleh nenek moyang orang Dayak adalah untuk “mengistirahatkan”
tanah karena telah digarap sehingga struktur tanah tersebut rusak. Agar tanah
tersebut “muda” kembali maka tidak ada cara lain yang dilakukan selain mencari
tempat tinggal baru dan membuka lahan ladang kembali. Di zaman sekarang gaya
hidup berpindah-pindah tempat (nomaden) tersebut tidak lagi dilakukan. Mereka
mulai menetap disuatu tempat, berkeluarga dan menggarap serta memelihara lahan
yang ada. Masyarakat Dayak yang dulu dikenal dengan orang pegunungan kini
banyak yang membangun tempat tinggal dimana bukan hanya dari etnis Dayak saja
namun tinggal diantara suku-suku lain misalnya Melayu, Tiong hua, Jawa, Madura,
Flores, Batak dan lain sebagainya. Bahkan ada yang memilih hidup di luar pulau
Kalimantan dengan bermacam-macam pula
latar belakangnya.
Dari segi kebudayaan dan kesenian etnik Dayak dikenal kaya akan budaya dan
seninya. Orang luar yang bertandang di lingkungan yang mayoritas etnik Dayak
akan merasa sangat diterima baik, dan hal ini telah dikenal sejak lama oleh
orang-orang yang memiliki pengalaman berkaitan dengan ini; jika dalam istilah
Jawa diwongke atau merasa sangat
dihormati/ dihargai. Memang, jika berkaitan dengan ini etnik Dayak tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Mereka tidak segan-segan membantu orang yang kesusahan baik
itu sesama mereka maupun orang yang tidak dikenal sama sekali. Budaya ramah ini
masih diteruskan hingga ke generasi saat ini. Namun jangan sampai mereka
disakiti atau jangan sampai mereka merasa tersakiti, kebuasan orang Dayak akan
muncul disitu; Mangkok Merah akan berjalan dan siap-siap terjadi pertumpahan
darah. Itulah salah satu sifat orang Dayak. Dari sisi seninya masyarakat asli
Kalimantan Barat (Dayak) dikenal bermacam-macam kesenian dari seni tari, seni
tato/ ukir dan seni musik serta seni permainan tradisional.
Pola pikir masyarakat Dayak mengalami perkembangan yang sangat signifikan.
Terlebih yang berkaitan dengan pandangan hidup. Zaman dahulu, orang Dayak
bekerja hanya untuk keperluan jangka pendek saja bahkan ada yang bekerja dengan
hasil digunakan untuk saat itu juga. Mereka melahirkan anak berusaha
sebanyak-banyaknya agar kelak membantu orang tuanya menggarap ladang dan sawah.
Menurut Andreas 2012: 3 dalam bukunya yang berjudul Rekonstruksi Identitas Dayak, etnik Dayak mulai muncul di panggung
politik dan birokrasi di Kalimantan Barat di era dekade 50-an yang ditandai
dengan dibentuknya Partai Dayak serta tampilnya Oevaang Oeray sebagai Gubernur
Provinsi Kalimantan Barat untuk periode 1961-1966. Peran etnik Dayak mengalami
pasang surut karena tercipta oleh situasi kekuasaan pusat. Saat ini seiring
perkembangan zaman, masyarakat Dayak telah memiliki banyak peran baik dalam
masyarakat sendiri, hingga di pemerintahan. Gubernur Kalimantan Barat sendiri
serta posisi penting di pemerintahan dipegang oleh orang-orang Dayak. Inilah
yang menjadikan Kalimantan Barat khususnya bagi masyarakat Dayak sendiri
merupakan suatu prestasi gemilang yang dicapai.
B.
Diskursus Mengenai Rekonstruksi
Identitas Dayak di Era Otonomi Daerah
Beberapa fakta yang melatarbelakangi
berkaitan dengan isu sentral diskursus dalam rekonstruksi identitas Dayak di
era Otonomi Daerah. Menurut Andreas 2012: 3-6, dalam bukunya yang berjudul Rekonstruksi Identitas Dayak berpendapat bahwa ada tujuh alasan yang mendorong
terjadinya diskursus berkaitan dengan rekonstruksi identitas Dayak di era
Otonomi Daerah.
Pada dasarnya suku Dayak sama halnya
dengan suku lain ketika di tengah kebimbangan politik, mereka jelas sedang mencari
identitasnya yang sejati. Identitas tersebut dapat ditemukan dalam keberagaman
persoalan bahkan konflik internal maupun eksternal (dengan suku lain).
Persoalan yang ada semakin diperkuat karena melemahnya identitas Dayak yang
sedang mencari jati dirinya. Oleh karena itu, masa-masa seperti ini sangat
rentan terjadi konflik. Misalnya dalam penuturan Andreas 2012: 3, dalam
persoalan ketujuh diungkapkan bahwa orang Dayak sangat mudah teralihkan
perhatiannya dengan persoalan-persoalan yang menuntut mereka untuk bertindak
dengan kejam dan sangat beringas; sulit dikendalikan. Namun dapat dikatakan
sebagai suatu hal yang positif dengan terjadinya pertikaian hebat ini,
identitas Dayak justru semakin menguat.
Dengan diberlakukannya Otonomi Daerah
juga menjadi salah satu dorongan
sehingga menguatkan identitas Dayak. Hal ini ditandai dengan semakin banyak
elite politik daerah yang berasal dari etnis Dayak. Sebenarnya tidak mudah
untuk berani mengakui diri sebagai “orang Dayak”; mengaku sebagai orang Dayak
berarti harus tahu apa identitas sejati sukunya (dalam hal ini bukan berarti
harus sukuisme). Berbekal keberanian dan prestasi akademik, etnik Dayak mampu
menunjukan dimata “orang luar” bahwa orang Dayak juga bisa berbuat yang jauh
luar biasa demi Indonesia, karena etnik Dayak adalah bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Selain di masyarakat dan di
pemerintahan, etnik Dayak mampu membangun kepercayaan dirinya dengan berperan
aktif dalam kegiatan menggereja. Hal ini bukan hal yang luar biasa lagi karena
paradigma telah terlanjur terbangun, orang Dayak identik dengan Kristen baik
itu Katolik maupun Protestan. Dan memang benar, menurut Andreas 2012: 5, sejak
para misionaris tiba di Kalimantan Barat yaitu di Singkawang pada tanggal 30
November 1905 dan di Sejiram tahun 1906, cikal bakal umat Katolik di Kalimantan
Barat telah terbangun sejak saat itu. “Agama asli” yang telah dianut nenek
moyang orang Dayak secara turun temurun mulai membaur dengan pewartaan para
misionaris yang menawarkan keselamatan dari Yesus Kristus. Akomodasi pewartaan para
misionaris adalah agama Katolik. Mereka tidak berusaha memusnahkan budaya
lokal, namun lewat budaya lokal tersebut iman akan Yesus Kristus terjadi.
Masyarakat Dayak menerima pewartaan tersebut dengan senang hati dan menjadikan
agama Katolik sebagai nafas iman. Oleh karena itu hingga saat ini antara budaya
lokal dan agama Katolik tidak dapat dipisahkan, keduanya saling membangun denga
satu tujuan yakni beriman secara lebih mendalam pada Yesus Kristus. Dan tidak
heran pula selain mengantongi identitas sebagao orang Dayak, dengan bangga pula
mengakui Yesus Kristus sebagai iman sejatinya.
C.
Identitas Dayak dalam Konflik
Negara Indonesia disebut sebagai sebuah Negara Maritim dan Negara Bahari
memang telah dikenal di mata dunia. Sebagai Negara Maritim, Indonesia kaya akan
wilayah laut dan menghasilkan dari sumber laut berbagai olahan, baik hasil ikan
maupun hasil terumbu karang. Karena wilayah Indonesia berjumlah 2/3
keseluruhannya adalah wilayah laut maka tidak ada kemungkinan kekurangan
penghasilan laut. Pertanyaannya, sudah maksimal atau belum pengelolaan yang
telah dilakukan selama ini? Karena nyatanya para nelayan sekalipun banyak yang
berkehidupan pas-pasan. Sisi positif juga banyak didapatkan oleh bangsa
Indonesia dengan banyaknya wilayah lautan daripada wilayah daratan. Aset-aset
wisata laut atau sungai ikut membantu bertambahnya pendapatan daerah. Namun
masih banyak manajemen pengelolaan di sana sini masih sangat minimalis bahkan
ada tempat wisata yang memiliki potensi yang besar “dibiarkan” begitu saja
tanpa ada yang serius menanganinya.
Sebagai negara yang dikenal juga dengan sebutan Negara Bahari, Indonesia
tentunya memiliki kekayaan yang luar biasa pada sisi budaya, kerajinan,
kesenian, hingga pluralitas masyarakat dengan karakternya masing-masing. Keanekaragaman
suku dan bahasa di Indonesia menuntut masing-masing orang Indonesia agar saling
menghormati satu sama lain dan menghargai perbedaan. Di mata dunia, orang
Indonesia dikenal sebagai orang yang ramah, sopan dan saling membantu. Hingga
saat ini pun pandangan seperti itu masih bergaung merdi di telinga masyarakat
Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri juga, dengan kemajemukan yang terjadi dalam masyarakat
Indonesia, benturan-benturan kecil hingga yang sangat besar baik antar individu
maupun antara kelompok masyarakat sering terjadi. Dari terorisme hingga korupsi
juga sering terjadi; dari perampokan hingga pemerkosaan juga pernah terjadi.
Dalam media massa, baik itu media elektronik, madia cetak maupun media online, konflik antar suku sering
diberitakan. Terlepas dari Provinsi lain, tak kalah berita juga yang ada di
Kalimantan Barat. Telah tercatatkan menurut Andreas 2012: 5, selama kurun waktu
47 tahun telah terjadi sebanyak 11 kali pertikaian di Kalimantan Barat.
Pada akhir tahun 1996 hingga awal 1997 terjadi pertikaian yang sangat
hebat antara suku Dayak dan suku Madura di Kabupaten Sambas. Pertikaian menurut
bahasa setempat disebut “perang” meluas ke berbagai daerah seperti di Kabupaten
Sanggau dan Kabupaten Pontianak. Pada tahun 1999, terjadi lagi pertikaian yang
sangat hebat antara suku Madura dan suku Melayu di Kabupaten Sambas. Pada tahun
2000, terjadi pertikaian antara suku Madura dan suku Melayu di kota Pontianak.
Dengan melihat pertikaian demi pertikaian di Kalimantan Barat, hampir
semua pertikaian tersebut melibatkan suku Madura. Jika demikian, ada apa dengan
suku Madura? Dengan melihat pemetaan suku
di Provinsi Kalimantan Barat Barat, suku Madura sebenarnya hanya menempati
berapa persen saja keberadaannya di Kalimantan Barat. Namun dengan melihat
beberapa pertikaian yang terjadi, suku Madura selalu terllibat di dalamnya;
entah sebagai penyebab, sebagai korban atau sebagai dalang dari pertikaian itu
sendiri. Dari beberapa penelitian ternyata suku Madura kecil kemungkinan
sebagai dalang dari semua kerusuhan. Mereka merupakan korban yang membela diri
dengan segala watak atau karakter asli di dalamnnya.
Dalam teori konflik, cenderung komunitas kecil biasanya akan menjadi
semakin mudah dijadikan bulan-bulanan atau dengan mudah dijadikan penyebab
(“korban”) untuk memenangkan suatu pertikaian. Dengan prosentase yang sedikit
namun jika dilihat dari sisi karakteristik, suku Madura yang ada di Kalimantan
Barat merupakan komunitas yang memiliki etos kerja keras yang tinggi.
Disinyalir, dengan prinsip hidup yang keras ini dapat memunculkan kecemburuan
sosial bagi kelompok tertentu. Ditambah lagi kebiasaan orang Madura yang selalu
membawa senjata tajam saat mereka bepergian. Kebiasaan ini seolah-olah memberi
signal pada orang lain di luar suku Madura agar bila bertemu dengan orang yang
selalu membawa senjata kemana saja pergi maka hal tersebut merupakan tanda
kejahatan dan jangan pernah menyakitinya. Jika berbicara mengenai karakter,
suku Madura memiliki temperamen yang tinggi. Dalam situasi ini, suku Madura
berhadapan langsung dengan Suku Dayak yang kurang lebih memiliki karakter yang
sama. Dikatakan memiliki “karakter yang sama” bukan berarti orang Dayak tidak
ada bedanya dengan orang Madura; perbedaannya jelas pada prinsip hidup. Pada
dasarnya orang Dayak tidak mau diusik keberadaannya dan mereka tidak mau
memulai pertikaian. Masyarakat Dayak sebenarnya masyarakat yang welcome pada siapa saja yang bertandang
di Tanahnya, Borneo. Mereka dengan senang hati membantu siapa saja yang datang
ke daerahnya bahkan sampai memberi tumpangan gratis sekalipun mereka dengan
tulus melakukannya. Banyak masyarakat pendatang yang bermaksud menggali
peruntungan di Tanah Borneo. Mereka menekuni berbagai bidang. Para pendatang
ini umumnya orang di luar pulau Kalimantan; bekerja sebagai petani, pedagang,
pegawai negeri, pekerja bangunan dan jalan hingga para pengemis dan pengamen.
Sifat menerima dan terbuka inilah yang menjadikan masyarakat suku Dayak mungkin
termanfaatkan oleh orang-orang tertentu sehingga watak asli suku Dayak keluar;
mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan dan jangan sampai
“Mangkok Merah” berjalan, karena itu pertanda akan terjadi “perang” yang sudah
pasti akan menumpahkan darah bahkan nyawa.
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa konflik-konflik di
Kalimantan Barat yang melibatkan suku Dayak padan dasarnya berakibat semakin
menguatkan identitas “Dayak” itu sendiri, ditambah lagi dengan diberlakukannya Otonomi
Daerah; spirit ke-dayak-an semakin jelas dan menguat seiring dengan beraninya
beberapa tokoh Dayak menjadi pemimpin di daerahnya sendiri. Jika ji era 60-an
Oevaang Oeray tampil sebagai pemimpin Kalimantan Barat, saat ini, terbilang
telah terjadi dua periode Kalimantan Barat dipimpin oleh Putera Dayak itu
sendiri. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada yang tidak mungkin terjadi bagi
generasi Dayak selanjutnya. Di bidang akademis pun hingga saat ini telah banyak
muncul para akademisi yang dengan segala kemampuannya memberikan banyak
perubahan baik itu di Kalimantan Barat sendiri maupun di luar Kalimantan Barat.
Sebut saja, perancang bangunan Gereja Katedral St. Yosef Keuskupan Agung
Pontianak yang hingga saat ini mulai nampak designnya yang wah adalah Putra Daerah; orang Dayak.
Seiring menggeliatnya etnik Dayak baik secara personal maupun kelompok,
kemajuan zaman juga tidak dapat dipungkiri dan dihindari. Jika tidak siap
dengan perkembangan zaman maka bersiaplah digilas oleh zaman itu sendiri.
Banyak sumber yang mengatakan bahwa sekarang adalah zaman modern, zaman dimana
semua fasilitas serba modern. Ada juga yang mengatakan saat ini ialah saat
dimana kemajuan teknologi merajai dunia. Masyarakat yang masih bekerja secara
manual dianggap ketinggalan dan sebaliknya orang-orang yang sehari-harinya
selalu dikelilingi alat-alat dunia maya (handphone, internet, ipad, komputer
tablet dan sebagainya) menganggap dirinya pro-aktif dengan kemajuan zaman dan
tidak ketinggalan. Akibat negatif dan positif pun bermunculan. Akibat
positifnya yaitu masyarakat semakin tahu tentang banyak hal beraitan dengan
alat-alat teknologi tersebut, informasi jadi semakin mudah diakses, mengurangi
beban tenaga manusia dan lebih meminialisir terjadinya eksploitasi manusia
sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang hakiki sebagai sumber tenaga kerja utama.
Imbas negatifnya juga tidak kalah banyaknya dari manfaat positif tadi.
Misalnya: hubungan manusia sebagai makhluk sosial semakin terabaikan. Sebagai
makhluk sosial (homo homini lupus) manusia jelas membutuhkan manusia lainnya
untuk berinteraksi baik langsung maupun secara tidak langsung. Sebagai makhluk
sosial juga, rasa kekeluargaan yang dulunya terpelihara dengan baik kini
semakin hilang tergantikan alat-alat modern zaman sekarang. Gotong royong yang
menjadi semangat untuk membangun bersama digantikan dengan tenaga upahan bahkan
tidak diingat sama sekali. Pada akhirnya manusia hanya memiliki sifat
individualistik yang membawa mereka ke jurang ego-sentris yang sangat dalam.
Secara menyeluruh ternyata konflik-konflik yang terjadi bukan hanya karena
konflik dalam artian benturan antar suku saja melainkan konflik dalam artian
disintegrasi dari diri manusia pada
umumnya dan pada masyarakat suku Dayak khususnya. Jika dahulu masyarakat
Dayak hidup berdampingan dalam satu komunitas
yang solid, kini dengan membaurnya hidup dengan masyarakat di luar etnik Dayak
hal yang baik tersebut semakin terkikis hilang bak ditelan zaman. Basis identitas suku Dayak mulai tergantikan
dengan manipulasi disana-sini terlupakan, misalnya rumah panjang, anyaman, sistem
perladangan dan masih banyak yang lainnya. Tidak heran pula persatuan etnik
Dayak walaupun kelihatan dari luar masih tetap kokoh namun disana-sini juga
telah banyak ketimpangan sosial. Benturan-benturan internal sering dirasakan
terjadi.
Di balik semuanya ini, ada satu hal yang masih tetap terjaga dan tak
tergantikan hingga detik ini yaitu sistem kepercayaan. Sebagai orang Dayak
asli, penulis juga sangat merasakan akan hal tersebut. Bahkan semakin menguat
jika akan berhubungan denganNya. Ia adalah Jubata. Masyarakat Dayak yakin bahwa
Jubata selalu menyertai mereka seiring dengan alam yang memberi mereka
segalanya yang mereka butuhkan. Inilah yang menjadikan identitas Dayak tetap
ada dan bahkan semakin menguat manakala mereka yakin Jubata selalu mengiringi
langkah hidupnya.
D.
Simbol-simbol yang Membangun
Identitas
Orang Dayak dikenal sangat dekat dengan alam sekitarnya sehingga sistem
kepercayaan, nilai-nilai budaya, dan kehidupan sehari-hari tidak dapat
dipisahkan dari pemahamannya tentang alam sekitar (Andreas 2012: 20). Alam
memang telah disediakan Tuhan sejak zaman dahulu khusus diperuntukan pada
manusia agar digunakan sebaik-baiknya. Masyarakat Dayak juga sejak zaman dahulu
telah hidup dari dan bersama dengan alam, maka tidak heran orang Dayak hingga
sekarang masih ketergantungan dengan alam. Mereka tidak perlu bersusah payah
bekerja karena alam telah menyediakan segalanya. Sebagian besar prinsip ini
tidak berlaku saat ini. Tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab mengeruk
sehabis-habisnya kekayaan alam, mengeksploitasi segala macam tumbuhan dan jenis
hewan. Hewan-hewan dan tumbuhan yang menjadi kekhasan Kalimantan kini sangat
sulit didapati; dan jika menemukannya pun tempatnya di kebun binatang atau di
balai konservasi milik swasta atau negeri.
Namun tidak menutup kemungkinan pula bahwa masih banyak para generasi
Dayak yang mau peduli dan sadar akan terjepitnya mereka di tanah kelahirannya
sendiri. Buktinya banyak pula para pencinta hewan dan lingkungan yang tanpa
lelah memperjuangkan kelestarian alam. Berkaitan dengan budaya, sekarang banyak
berdirinya sanggar-sanggar seni baik itu seni tari, seni musik maupun komunitas
yang khusus memberi perhatian lebih pada budaya Dayak; contohnya Institut Dayakologi Research, perguruan
tinggi yang berciri Dayak contohnya Sekolah Tinggi Santo Agustinus Pontianak
dan lain-lainya. Dengan adanya kepedulian ini Dayak atau etnik Dayak masih
mampu bertahan hingga lima ratus ribu tahun yang akan datang bahkan tetap eksis
selama zaman masih ada. Simbol-simbol dari etnik Dayak yang mampu bertahan
untuk memberikan identitas hingga kapan pun memang tidak jauh dari alam,
misalnya Rumah Betang, senjata tradisional, sistem perladangan dan sistem
kepercayaan.
Rumah Betang atau Rumah Panjang merupakan tempat untuk melakukan kegiatan
sehari-hari yang berkaitan kegiatan dalam rumah. Selain itu rumah panjang juga
merupakan tempat untuk melaksakan
upacara adat serta pertemuan dalam rangka membicarakan keadaan sekitar,
perladangan atau untuk membicarakan hal-hal yang dianggap genting. Tempat ini
disebut Rumah Panjang karena setiap pemuda/ pemudi yang memiliki keluarga baru
diwajibkan membangun ruangan baru dari Rumah Panjang utama. Karena inilah maka
ruang-ruang yang ada pada bangunan ini menjadi lebih panjang sesuai dengan
jumlah keluarga yang ada. Rumah Panjang atau Rumah Betang dibangun dengan
design tiang panjang sehingga memiliki ruangan luas di bawahnya. Tujuan dibangunnya seperti ini maksud awalnya
selain untuk menghindari serangan dari para Pengayau
dari binua (daerah/ wilayah adat)
lain juga untuk menghindari dari serangan binatang buas. Saat ini, Rumah Betang
sangat sulit ditemukan sebagai bangunan yang masih berfungsi sebagai tempat
tinggal. Bahkan bangunan yang ada
sebagian besar bahan dasarnya imitasi dari bahan aslinya.
Berkaitan dengan senjata tradisional, masyarakat Dayak memiliki senjata
tradisional yang khas. Yaitu tangkitn,
sumpit, mandau, badi’, dan tumbak nibukng. Senjata yang paling
dikenal adalah mandau dan sumpit. Tangkitn,
badi’ dan tumbak nibukng, merupakan
senjata tradisional etnik Dayak yang dimiliki secara turun temurun. Erat
kaitannya dengann simbol-simbol yang melekat pada masyarakat suku Dayak, yang
berikutnya adalah sistem perladangan dan sistem kepercayaannya.
Masyarakat Dayak zaman dulu dikenal sebagai masyarakat yang memiliki
sistem ladang berpindah. Maksud berpindah dalam hal ini adalah ladang yang
dijadikan lahan untuk membuat ladang hanya ditanami tanaman padi cukup satu
kali selanjutnya mereka akan mencari dan membuka lahan baru. Sementara lahan
sebelumnya tadi dibiarkan atau diistirahatkan dengan cara ditanami
tanam-tanaman buah-buahan dengan pohon yang keras atau ditanami pohon karet. Berkaitan
dengan tanah atau hutan, masyarat Dayak sangat percaya bahwa di tempat itu
merupakan hunian selain hewan-hewan dan tumbuhan juga merupakan tempat tinggal
makhluk tidak kasat mata. Masyarakat Dayak sangat menjaga hubungan ini
sebaik-baiknya sehingga jangan sampai ada yang tersakiti atau dirugikan. Oleh
karena itu dalam sistem kepercayaannya mereka meyakini ada makhluk yang
menghuni di sekitar mereka selain mereka, hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Sistem ladang berpindah ini merupakan sistem perladangan maju dengan gaya kuno.
Mengapa demikian? Dikatakan sebagai sistem perladangan maju karena masyarakat
Dayak tahu bahwa tanah memiliki sifat habis pakai dan tidak boleh diolah secara
terus menerus sehingga mengakibatkan tanah tandus dan gersang. Di dukung pula
dengan pola kepercayaan yang mengatakan hutan (tanah) memiliki nyawa; nyawa
dimana tempat hidup dan mati orang Dayak. Dalam Andreas 2012: 21 dikatakan
bahwa, masyarakat Dayak sangat yakin bahwa hutan (dan tanahnya) diciptakan oleh
Tuhan (Jubata) agar dapat dipergunakan oleh semua makhluk, baik yang kasat mata
maupun yang tidak kasat mata.
BAB IV
KRITIK DAN SARAN
Buku yang berjudul Rekonstruksi Identitas Dayak, karangan
Dr. Andreas Muhrotien merupakan terobosan terbaik dan sumbangsih yang patut
mendapat apresiasi tinggi terutama dari masyarakat Dayak umumnya dan bagi para
akademisi Dayak khususnya. Mengapa harus para akademisi Dayak? Buku ini
memberikan gambaran besar berkaitan dengan isu etnisitas saat ini, memberikan
pemahaman tentang Otonomi Daerah di KalimantanBarat dan terlebih memberi
peringatan secara tegas bahwa kaum akademisi Dayak sudah saatnya
“menyelamatkan” budaya Dayak yang berkaitan dengan identitas ke-dayak-an
seturut disiplin ilmu yang sedang atau telah ditekuninya.
Kaum akademisi dapat dikatakan pula
sebagai kaum muda yang berjiwa muda. Tanpa memperhitungkan tingkatan dan
batasan umur, kaum muda seharusnya berpikiran dan bergerak ke depan; melihat
peluang apa yang mampu dicapai dalam rangka penyempurnaan dunianya. Kaum muda
Dayak sekaligus kaum akademisi seharusnya mempunyai visi untuk Kalimantan
Barat, tanah asalnya. Memang saat ini kaum muda Dayak sedikit demi sedikit
bangkit berusaha menjadi agen-agen perubahan di segala bidang. Putera daerah
menjadi pemimpin di daerahnya sendiri. Banyak pemberdayaan yang telah
dilakukannya, baik itu di bidang pendidikan, infrastuktur, tata daerah dan
segala macam perubahan yang telah menjadi visi dan misinya saat terpilih
menjadi pemimpin. Menjadi agen perubahan tidaklah mudah dan dibutuhkan keuletan
serta pantang menyerah akan keadaan yang memaksa untuk mengambil kebijakan
segera. Misalnya konflik atau kesalahpahaman yang pernah terjadi pada Oktober
2012 yang lalu di kota Pontianak antara masyarakat suku Dayak dan kelompok
Front Pembela Islam (FPI). Sebagai pulau yang semakin hari semakin berciri
pluralistik ini, harusnya kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama yang
ujung-ujungnya pasti menimbulkan kekacauan tidak dibiarkan berkibar di Tanah Borneo
ini. Tindakan-tindakannya (FPI) sudah jelas dipertontonkan diberbagai media.
Ulah kelompok ini sangat anarkis dan tidak bisa ditolelir lagi. Oleh karena
itu, melihat gelagat kelompok ini akan meresmikan kelompoknya di Kalimantan
Barat, para pemuda Dayak langsung merespon. Karena terjadi kesalahpahaman atau
ada penghasut diantaranya maka konflik terdramatisir seolah-olah sangat besar.
Nah, keadaan seperti inilah tindakan bijaksana kepemimpinan yang dibutuhkan dan
hal itu terjadi.
Menyinggung pluralitas yang semakin
besar prosentasenya di Kalimantan Barat, baik itu dari sisi suku, agama, dan
golongan-golongan tertentu serta individu yang berbagai macam, provinsi
Kalimantan Barat menjadi provinsi yang majemuk. Di Indonesia sendiri, wacana
hubungan antar agama diwarnai perdebatan tentang pluralisme agama, yang
pengertian dan pemahamannya masih seringkali belum sepaham. Karena belum adanya
kesepahaman tentang keberadaan agama ini maka disana sini muncul konflik dan
teror yang berhubungan dengan agama. Kemungkinan hal ini disebabkan pemahaman
akan agama sendiri pun sangat berbeda. Memang tidak bisa dipungkiri, setiap
agama memerlukan penafsiran akan ajarannya. Dan salah satu penyebab terjadinya
teror berkaitan isu agama ini yaitu adanya penafsiran ajaran agama yang keliru
dan pencampuradukan urusan agama dengan urusan pemerintahan negara.
Berkaitan dengan isu konflik serta
teror yang erat hubungannya dengan agama, sangat diperlukan dengan apa yang
disebut re-evangelisasi atau
dakwah-dakwah yang positif serta memberi pemahaman yang benar pada pemeluk
agama. Re-evangelisasi dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kembali tentang
ajaran agama serta diharapkan kembali pada prinsip dasar keagamaan bahwa setiap
agama dan kepercayaan pada dasarnya adalah sama. Tidak ada dari setiap agama
dan kepercayaan mengajarkan tentang kejahatan; misalnya Kristen merupakan suatu
kepercayaan yang universal berangkat dari arti Katolik yang berarti umum. Islam
sendiri artinya damai atau dapat disebut Islam merupakan agama yang mengajarkan
tentang kedamaian. Jadi jika ditelaah sedikit lebih jauh, terjadinya teror
(seringnya yang menjadi korban adalah umat Kristiani) karena disebabkan
pamahaman serta penafsiran yang keliru terhadap ajaran agama ditambah lagi
dengan pengetahuan yang kurang akan agamanya sendiri.
Lain halnya dengan fenomena
pencampuradukan urusan agama dengan urusan pemerintahan negara. Lagi-lagi FPI
yang menjadi alat percontohan. Indonesia memang majemuk di segala bidang. FPI
seolah-olah tutup mata akan keberadaan kemajemukan ini terlebih yang berkaitan
dengan kemajemukan agama atau kepercayaan. Mereka bertindak seoalah-olah aparat
resmi pemerintah. Mereka melakukan razia yang seharusnya tugas polisi atau
satuan pamong praja, mereka dengan gagahnya membakar tempat ibadah dengan
alasan agama sesat atau mengajarkan kesesatan, hingga dengan tekad dan perasaan
benar mereka melakukan aksi bom bunuh diri ditengah orang ramai dengan alasan
membunuh orang kafir agar mendapat pahala besar di surga. Sungguh najis perbuatan
seperti ini, namun entah kenapa seoalah-olah mereka dibiarkan saja terus
beraksi sehingga muncul pemikiran: jika demikian apa bedanya aparat dengan FPI?
Dengan diberlakukannya Otonomi
Daerah seharusnya menjadi peluang besar bagi pemimpin Kalimantan Barat yang
secara kebetulan adalah orang Dayak. Dan hal ini telah terjadi. Beberapa posisi
strategis di pemerintahan baik tingkat provinsi, kabupaten hingga kecamatan
diduduki oleh orang Dayak. Salah satu bukti bahwa orang Dayak ternyata juga
bisa berpikiran maju untuk membangun daerahnya. Sedikit demi sedikit konotasi
awal berkaitan dengan penyebutan Dayak mulai dilupakan. Jika pada masa Orde
Lama kata “Dayak” dikonotasikan sebagai bentuk penghinaan terhadap etnik, saat
ini kata “Dayak” menjadi sebuah kebanggaan. Tentu hal ini tidak terlepas dari adanya
konflik yang melibatkan etnik Dayak di dalamnya serta penyebutan Dayak dengan
konotasi hina itulah maka identitas Dayak menjadi jelas dan membanggakan. Kaum
muda Dayak diharapkan mampu memelihara kebanggaan ini. Lewat aktivitas di
sanggar-sanggar seni Dayak dan kegiatan akademik serta kesadaran akan
pentingnya persatuan dalam suku tanpa harus bersikap sukuisme dan juga
meneruskan cita-cita pewartaan awal para misionaris tentu Dayak akan tetap
eksis dan semakin solid paling tidak seratus tahun ke depan.
ADIL KA’ TALINO
BACURAMIN
KA’ SARUGA
BASENGAT KA’ JUBATA
Sumber
utama tulisan ini dari:
Muhrotien,
Andreas. 2012. Rekonstruksi Identitas
Dayak. Yogyakarta: TICI Publications.