Tidak bisa dipungkiri, di
Indonesia ini masalah tentang kebhinekaan timbul tenggelam seolah tidak ada
matinya. Masyarakat Indonesia yang majemuk dalam beragama, suku, ras dan
golongan menjadi pemicu awal munculnya masalah tentang kebhinekaan ini. Cita-cita
pada pendiri bangsa tercoreng dengan adanya permasalahan ini. Solusi demi
solusi dilakukan baik oleh pihak pemerintah maupun dari kesadaran masyarakat
sendiri tentang penting hidup damai yang berdampingan satu dengan yang lain walau
banyak perbedaan. Dalam dunia pendidikan, khususnya dalam Pendidikan Agama
(Katolik) juga berusaha menemukan solusi dan bergerak didalamnya agar dari sisi
pemahaman yang benar tentang agama
masing-masing dalam masyarakat setidaknya dapat menurunkan tensi kisruh seputar
kebhinekaan.
Di bawah ini penulis mencoba
memaparkan hal-hal tersebut di atas dalam bentuk pertanyaan dialog.
Bagaimana
perbedaan pendidikan agama di masa lalu dengan di masa kini? Mengapa berubah?
Pertama, secara umum pelaksanaan
pendidikan agama di masa lalu dipengaruhi oleh pola pelaksanaan mata pelajaran
lainnya. Apa itu? Hanya bersifat pengetahuan yang pada akhirnya berhenti pada
hafalan-hafalan bersifat harafiah.
Masih ingat tidak pembelajaran
legendaris dengan judul “ini ibu budi”?
Nah ini salah satu bukti pembelajaran
yang hanya berhenti pada pengetahuan saja. Kemudian
berbicara mengenai penilaian,
seolah-olah tabu jika siswa mendapat nilai 100 (atau 10). nilai 10 hanya untuk
Tuhan, 9 untuk guru dan siswa paling tinggi 8.
Demikian pula yang terjadi dan tak
beda ubahnya dengan pelaksanaan pendidikan agama.
Kedua, tertanam bahkan terpatri dengan
jelas bahwa terbangun pemahaman konsep tentang guru agama adalah orang yang
tahu segalanya bahkan di luar dari disiplin ilmu yang ia ajarkan.
Bahayanya adalah apabila si guru agama
mengajarkan suatu hal yang bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan social dan ini diterima kemudian dianggap benar maka hasil yang muncul di masyarakat bisa jadi adalah paham
radikalisme dan intolerasi.
Ketiga, terbangun pola kebiasaan baik: orang yang berprofesi
guru adalah orang yang paling dihormati, apalagi guru agama. Dari sisi
positifnya, jika pola kebiasaan masyarakat yang menaruh hormat kepada guru dan
profesinya maka seiring dengan itu juga akan dengan mudah pula guru menanamkan
nilai-nilai sosial-religius pada masyarakat namun ini mengalami pergeseran
dalam masyarakat seiring banyak kasus perilaku tidak wajar dari oknum guru
kemudian tergeneralkan di masyarakat maka kebiasaan baik itu tadi sudah jarang
kita temui.
Dari sisi negatifnya, sekali lagi bahayanya apabila yang
ditanamkan adalah bibit-bibit radikalisme dan intoleransi maka terbentuklah
satu generasi yang sudah tertanam dalam diri radikalisme dan intolerasi di
tengah kemajemukan.
Nah itu adalah pendidikan agama yang terjadi di masa lalu, bagaimana
pelaksanaan pendidikan agama masa kini? ….(kita pasti tahu bagaimana
keadaannya)
Seberapa
jauh pendidikan agama disekolah mengubah cara hidup, cara bergaul anak didik
menjadi lebih terbuka, inklusif, menghargai perbedaan? Mengapa tidak?
Berbicara mengenai seberapa jauh
pendidikan agama di sekolah mengubah cara hidup, cara bergaul anak didik
menjadi lebih terbuka,inklusif dan menghargai perbedaan tentu kita juga dapat menyoroti bagaimana pelaksanaan
pendidikan agama yang selama ini terjadi, termasuk pengaruh iklim lingkungan
sosial sekitar tempat pendidikan itu berlangsung.
Apabila pendidikan agama yang disampaikan dengan muatan
doktrin-doktrin yang mengarah pada sikap dan tindakan intoleran hingga berujung
pada radikalisme ya berarti masyarakat umum sedang dipersiapkan panenan yang
tidak jauh dari muatan-muatan pembelajaran yang selama ini diberikan, dan
akhirnya munculah kasus terorisme dan tindakan-tindakan yang bersifat intoleran
lainnya.
Tentu sejauh pembelajaran dalam
pendidikan agama di sekolah-sekolah tidak bersifat memaksakan/ mewajibkan
peserta didik dalam mengikuti agama yang menjadi ciri khas sekolah itu maka dapat
dijamin pergaulan peserta didik dapat terbuka bahkan akan memunculkan
nilai-nilai toleransi yang tinggi.
Nah, untuk sekolah-sekolah yang memiliki
otonomi khusus dalam pengelolaan pendidikan agama yang menjadi ciri khas
sekolah-sekolah tertentu juga tidak menutup kemungkinan berkembangnya
nilai-nilai tolerasi yang tinggi disini, dan ini tidak terbatas pada peserta
didik saja namun juga mencakup seluruh warga sekolah tersebut dimana ada guru,
staf dan karyawan yang tidak seagama dengan agama yang menjadi ciri khas
sekolah tersebut.
Dan justru hal ini dapat membuka peluang
untuk saling berinteraksi, berdialog dan berbagi pengalaman iman dalam suatu
lingkungan pendidikan yang notabene memiliki ciri khas keagamaannya. Pendidikan
agama semakin diperkaya dengan adanya pelbagai perbedaan. Suasana ini akan
mendorong perilaku inklusif untuk bertoleransi dan membangun sikap saling
menghormati perbedaan.
Nilai-nilai pluralitas dapat berkembang
yang pada akhirnya menghambat perilaku fanatisme sempit, bahkan dapat dihindari
perilaku radikalisme keagamaan. Sistem ini bukan merupakan sesuatu kemunduran
atau ancaman. Akan tetapi justru merupakan suatu langkah bijaksana dan maju
menuju sikap beriman yang inklusif dalam suatu tatanan komunitas beriman yang
sejati.
Pendidikan
agama untuk kebhinekaan? Adakah?
Ya, dengan melihat pluralitas yang ada
pada bangsa Indonesia, tidak menutup kemungkinan bahwa pendidikan agama untuk
kebhinekaan dapat diselenggarakan.
Pendidikan religiousitas contohnya.
Melalui Pendidikan religiousitas yang disusun
dalam regulasi kurikulum nasional (misalnya) dapat menjadi salah satu solusi
untuk membangun sikap tolerasi; apalagi dilaksanakan sejak dini.
Namun sekali lagi, pendidikan agama
untuk kebhinekaan bukannya tidak ada permasalahan apabila telah tertuang dalam
system pendidikan di Indonesia. Dan untuk permasalahan itu ada beberapa tawaran
solusinya:
Solusi Pendidikan Agama
di Sekolah
Alternatif solusi yang bisa dilaksanakan untuk pelayanan pendidikan agama anak
di sekolah:
(1) Solusi hukum dimana Pemerintah dan
Pemerintah Daerah memastikan satuan pendidikan mematuhi perundang-undangan
kependidikan yang berlaku (PP. 55/2007, pasal 7). Problem pendidikan agama
sebagiannya disebabkan oleh lemahnya pengawasan dan pembinaan oleh Pemerintah
dan Pemerintah Daerah.
(2) Solusi Kurikuler dimana materi dan metode
pendidikan agama dapat mengenalkan mengenai agama lain, bukan dalam bentuk
perbandingan isi ajaran agama tetapi memahami secara sosiologis pemeluk agama
lain. Pendidikan agama perlu memberikan pengalaman kepada peserta didik untuk
berinteraksi dengan pemeluk agama lain baik di dalam lingkungan sekolah maupun
di masyarakat.
(3) Solusi kultural dimana Pemerintah dan
masyarakat secara bersama-sama mendorong terjadinya dialog dan kemungkinan
kerjasama umat beragama dalam masalah-masalah sosial, moral, dan kebangsaan.
Peserta didik perlu mendapatkan pengalaman bekerjasama bagaimana menyelesaikan
masalah sosial seperti tawuran, kekerasan, penyalahgunaan narkoba, korupsi,
pornografi, dll.