Powered By Blogger

Tuesday, June 29, 2021

MASALAH KEBHINEKAAN DI INDONESIA DAN TAWARAN SOLUSINYA DALAM PENDIDIKAN AGAMA

Tidak bisa dipungkiri, di Indonesia ini masalah tentang kebhinekaan timbul tenggelam seolah tidak ada matinya. Masyarakat Indonesia yang majemuk dalam beragama, suku, ras dan golongan menjadi pemicu awal munculnya masalah tentang kebhinekaan ini. Cita-cita pada pendiri bangsa tercoreng dengan adanya permasalahan ini. Solusi demi solusi dilakukan baik oleh pihak pemerintah maupun dari kesadaran masyarakat sendiri tentang penting hidup damai yang berdampingan satu dengan yang lain walau banyak perbedaan. Dalam dunia pendidikan, khususnya dalam Pendidikan Agama (Katolik) juga berusaha menemukan solusi dan bergerak didalamnya agar dari sisi pemahaman yang benar  tentang agama masing-masing dalam masyarakat setidaknya dapat menurunkan tensi kisruh seputar kebhinekaan.

Di bawah ini penulis mencoba memaparkan hal-hal tersebut di atas dalam bentuk pertanyaan dialog.

 


Bagaimana perbedaan pendidikan agama di masa lalu dengan di masa kini? Mengapa berubah?

Pertama, secara umum pelaksanaan pendidikan agama di masa lalu dipengaruhi oleh pola pelaksanaan mata pelajaran lainnya. Apa itu? Hanya bersifat pengetahuan yang pada akhirnya berhenti pada hafalan-hafalan bersifat harafiah.

Masih ingat tidak pembelajaran legendaris dengan judul “ini ibu budi”?

Nah ini salah satu bukti pembelajaran yang hanya berhenti pada pengetahuan saja. Kemudian berbicara mengenai penilaian, seolah-olah tabu jika siswa mendapat nilai 100 (atau 10). nilai 10 hanya untuk Tuhan, 9 untuk guru dan siswa paling tinggi 8.

Demikian pula yang terjadi dan tak beda ubahnya dengan pelaksanaan pendidikan agama.

Kedua, tertanam bahkan terpatri dengan jelas bahwa terbangun pemahaman konsep tentang guru agama adalah orang yang tahu segalanya bahkan di luar dari disiplin ilmu yang ia ajarkan.

Bahayanya adalah apabila si guru agama mengajarkan suatu hal yang bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan social dan ini diterima kemudian dianggap benar maka hasil yang muncul di masyarakat bisa jadi adalah paham radikalisme dan intolerasi.

Ketiga, terbangun pola kebiasaan baik: orang yang berprofesi guru adalah orang yang paling dihormati, apalagi guru agama. Dari sisi positifnya, jika pola kebiasaan masyarakat yang menaruh hormat kepada guru dan profesinya maka seiring dengan itu juga akan dengan mudah pula guru menanamkan nilai-nilai sosial-religius pada masyarakat namun ini mengalami pergeseran dalam masyarakat seiring banyak kasus perilaku tidak wajar dari oknum guru kemudian tergeneralkan di masyarakat maka kebiasaan baik itu tadi sudah jarang kita temui.

Dari sisi negatifnya, sekali lagi bahayanya apabila yang ditanamkan adalah bibit-bibit radikalisme dan intoleransi maka terbentuklah satu generasi yang sudah tertanam dalam diri radikalisme dan intolerasi di tengah kemajemukan.

Nah itu adalah pendidikan agama yang terjadi di masa lalu, bagaimana pelaksanaan pendidikan agama masa kini? ….(kita pasti tahu bagaimana keadaannya)

 

Seberapa jauh pendidikan agama disekolah mengubah cara hidup, cara bergaul anak didik menjadi lebih terbuka, inklusif, menghargai perbedaan? Mengapa tidak?

Berbicara mengenai seberapa jauh pendidikan agama di sekolah mengubah cara hidup, cara bergaul anak didik menjadi lebih terbuka,inklusif dan menghargai perbedaan tentu kita juga dapat menyoroti bagaimana pelaksanaan pendidikan agama yang selama ini terjadi, termasuk pengaruh iklim lingkungan sosial sekitar tempat pendidikan itu berlangsung.

Apabila pendidikan agama yang disampaikan dengan muatan doktrin-doktrin yang mengarah pada sikap dan tindakan intoleran hingga berujung pada radikalisme ya berarti masyarakat umum sedang dipersiapkan panenan yang tidak jauh dari muatan-muatan pembelajaran yang selama ini diberikan, dan akhirnya munculah kasus terorisme dan tindakan-tindakan yang bersifat intoleran lainnya.

Tentu sejauh pembelajaran dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah tidak bersifat memaksakan/ mewajibkan peserta didik dalam mengikuti agama yang menjadi ciri khas sekolah itu maka dapat dijamin pergaulan peserta didik dapat terbuka bahkan akan memunculkan nilai-nilai toleransi yang tinggi.

Nah, untuk sekolah-sekolah yang memiliki otonomi khusus dalam pengelolaan pendidikan agama yang menjadi ciri khas sekolah-sekolah tertentu juga tidak menutup kemungkinan berkembangnya nilai-nilai tolerasi yang tinggi disini, dan ini tidak terbatas pada peserta didik saja namun juga mencakup seluruh warga sekolah tersebut dimana ada guru, staf dan karyawan yang tidak seagama dengan agama yang menjadi ciri khas sekolah tersebut.

Dan justru hal ini dapat membuka peluang untuk saling berinteraksi, berdialog dan berbagi pengalaman iman dalam suatu lingkungan pendidikan yang notabene memiliki ciri khas keagamaannya. Pendidikan agama semakin diperkaya dengan adanya pelbagai perbedaan. Suasana ini akan mendorong perilaku inklusif untuk bertoleransi dan membangun sikap saling menghormati perbedaan.

Nilai-nilai pluralitas dapat berkembang yang pada akhirnya menghambat perilaku fanatisme sempit, bahkan dapat dihindari perilaku radikalisme keagamaan. Sistem ini bukan merupakan sesuatu kemunduran atau ancaman. Akan tetapi justru merupakan suatu langkah bijaksana dan maju menuju sikap beriman yang inklusif dalam suatu tatanan komunitas beriman yang sejati.

 

Pendidikan agama untuk kebhinekaan? Adakah?

Ya, dengan melihat pluralitas yang ada pada bangsa Indonesia, tidak menutup kemungkinan bahwa pendidikan agama untuk kebhinekaan dapat diselenggarakan.

Pendidikan religiousitas contohnya.

Melalui Pendidikan religiousitas yang disusun dalam regulasi kurikulum nasional (misalnya) dapat menjadi salah satu solusi untuk membangun sikap tolerasi; apalagi dilaksanakan sejak dini.

Namun sekali lagi, pendidikan agama untuk kebhinekaan bukannya tidak ada permasalahan apabila telah tertuang dalam system pendidikan di Indonesia. Dan untuk permasalahan itu ada beberapa tawaran solusinya:

Solusi Pendidikan Agama di Sekolah
Alternatif solusi yang bisa dilaksanakan untuk pelayanan pendidikan agama anak di sekolah:

(1) Solusi hukum dimana Pemerintah dan Pemerintah Daerah memastikan satuan pendidikan mematuhi perundang-undangan kependidikan yang berlaku (PP. 55/2007, pasal 7). Problem pendidikan agama sebagiannya disebabkan oleh lemahnya pengawasan dan pembinaan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
(2) Solusi Kurikuler dimana materi dan metode pendidikan agama dapat mengenalkan mengenai agama lain, bukan dalam bentuk perbandingan isi ajaran agama tetapi memahami secara sosiologis pemeluk agama lain. Pendidikan agama perlu memberikan pengalaman kepada peserta didik untuk berinteraksi dengan pemeluk agama lain baik di dalam lingkungan sekolah maupun di masyarakat.
(3) Solusi kultural dimana Pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama mendorong terjadinya dialog dan kemungkinan kerjasama umat beragama dalam masalah-masalah sosial, moral, dan kebangsaan. Peserta didik perlu mendapatkan pengalaman bekerjasama bagaimana menyelesaikan masalah sosial seperti tawuran, kekerasan, penyalahgunaan narkoba, korupsi, pornografi, dll.

0 comments:

Post a Comment