Powered By Blogger

Friday, September 21, 2018

SPIRITUALITAS COSTANTINIAN DALAM PANGGILAN SEBAGAI PENDIDIK DI PERSEKOLAHAN KUNZHONG


Sebuah Refleksi dari Seorang Guru Pendidikan Agama Katolik di Lembaga Pendidikan yang menghayati semangat hidup Celso Costantini, Pendiri Kongregasi Murid-murid Tuhan (CDD)


              Tongkat pendidikan di Indonesia telah tertancapkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Berbicara mengenai pendidikan tentu tidak akan lepas dari sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia hingga sekarang. Lika-liku pendidikan di Tanah Air ibarat pertumbuhan manusia; mulai dari lahir, belajar berbicara, merangkak, berdiri, berjalan dan berlari. Adakalanya dia terjatuh dan terluka bahkan hingga parah namun ia bangkit lagi. Demikian halnya dengan pendidikan di Indonesia; memasuki abad ke 16 bangsa Portugis dan Belanda mendirikan sekolah-sekolah di Indonesia bagian Timur (Nusantara) dengan tujuan mengajarkan masyarakat untuk pandai membaca, menulis dan berhitung sekaligus memudahkan mereka dalam misi evangelisasi.
              Memasuki masa pendudukan Jepang, sistem pendidikan sebelumnya dihentikan. Jepang menyediakan sekolah rakyat atau disebut Kokumin Gakko sebagai pendidikan dasar, sekolah menengah sebagai pendidikan menengah dan sekolah kejuruan bagi guru (https://forumbitcoin.co.id). Pendidikan di Indonesia pun mulai menggeliat setelah Indonesia merdeka. Ki Hajar Dewantara berupaya keras untuk memajukan pendidikan di Tanah Air salah satunya dengan menyusun kurikulum SR 1947 yang terdiri dari 15 mata pelajaran.
              Dari masa ke masa sangat terlihat jelas pendidikan di Indonesia merangkak menuju kedewasaannya. Dukungan dari pemerintah pun sangat jelas dengan mengalokasikan anggaran lebih besar untuk kebutuhan pendidikan, merekrut banyak guru, mencetak buku pelajaran dan mendirikan pusat pelatihan keterampilan; hal ini dilakukan seiring dengan meningkatnya mutu dan partisipasi pendidikan di Indonesia serta berkembangnya minat untuk mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
              Tanpa mengesampingkan pihak swasta, terutama lembaga swasta Katolik dalam hal ini peran serta biarawan-biarawati yang memiliki misi di bidang pendidikan. Tanpa menutup sebelah mata, dasar pendidikan di Indonesia sebenarnya telah diperkuat oleh para misionaris Eropa. Hingga saat ini pendidikan di Tanah Air masih terus mengalami kemajuan yang signifikan terlebih pada sekolah-sekolah yang dikelola oleh pihak biarawan-biarawati. Mutu dan kualitas pendidikan di dalamnya sangat mendapat perhatian yang serius sehingga kuantitasnya terus meningkat.
              Para biarawan yang turut berperan serta dalam karya pendidikan di Indonesia salah satunya adalah Biarawan dari Kongregasi Murid-murid Tuhan (CDD). Berbekal dari semangat suci Celso Costantini, Bapak Pendiri CDD yang selalu memberi perhatian khusus pada pendidikan pendampingan kaum muda, beliau pernah menulis:
“Kaum muda adalah musim semi kehidupan, tunas muda. Jikalau tunas muda itu diberkati dengan musim yang baik, ia akan berkembang dalam keindahan dan akan menghasilkan buah-buah di musim kemarau. Akan tetapi apabila perkembangannya itu terganggu dan dirusak oleh embun beku, oleh kekeringan atau oleh banjir, tidak ada kompromi lagi panen gagal. Demikianlah kaum muda, dibentuk oleh bunga-bunga kehidupan yang pada waktunya akan memberikan buah-buah yang optimal, jikalau bunga itu tidak rusak” (IVAD Bab XXVI). Berangkat dari semangat inilah maka para Imam CDD bertekad untuk ikut ambil bagian dalam usaha memajukan pendidikan di Indonesia, dan telah terbukti berhasil.
              Hidup dan berkarya dalam komunitas pendidikan memang memiliki tantangan tersendiri. Terlebih ketika berbicara sebagai guru yang mengampu mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan berada di lembaga pendidikan Katolik. Namun harus tetap yakin akan penyertaan Tuhan, walau melewati tantangan sekeras apapun keyakinan itu harus tetap tumbuh hari demi hari. Raja Daud dalam Perjanjian Lama pernah membuktikan akan hal tersebut,
“Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gadaMu dan tongkatMu, itulah yang menghibur aku” (bdk. Mzm 23:4).
              Bapak Celso Costantini memahami dan menghayati karya Allah sungguh luar biasa. Upaya kontemplasi yang dilakukannya berhasil dengan menyebut Allah sebagai “Yang Hidup”. Sungguh suatu pernyataan iman yang tak bisa dibantah. Kita tahu bahwa dewasa ini banyak ditemukan kasus-kasus bunuh diri, perampokan, pembantaian ras/ etnis, perang saudara dan lain-lain. Hal ini seharusnya tidak terjadi jika semua orang menyakini dalam imannya akan “Allah Yang Hidup”. Bukan itu saja spiritualitas yang dibagikan oleh Bapak Celso, misalnya ia menyebut “Allah sungguh hadir dalam Sakramen Mahakudus”. Di sini ia menjelaskan bahwa Allah hadir dalam Diri Yesus Kristus dan berjalan di tengah umatNya. Allah Sang Seniman, begitulah gambaran umum ketika Bapak Celso mencoba melihat sisi lain dari Allah. Ia mengatakan bahwa “semesta raya ini merupakan buah karya dari kecerdasan dan kehendak budiNya” (Celso Costantini, Loc. Cit dalam buku Pendidikan Nilai Costantinian).

Urgensi Penerapan Spriritualitas Costantinian
              Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata urgensi diartikan sebagai suatu keharusan yang mendesak atau hal sangat penting. Misalnya kita dihadapkan pada suatu pilihan sulit, walau sesulit apapun cara menentukan satu pilihan itu yaitu dengan menemukan faktor urgensi dari pilihan tersebut. Contoh dalam penerapannya ialah ketika terjadi Pengkajian ulang Full Day School yang digagas Menteri Pendidikan oleh Presiden Joko Widodo bukan semata-mata Presiden tidak setuju dengan gagasan tersebut namun Presiden membuat suatu pertimbangan dengan memperhatikan sisi urgensi dari gagasan program itu sendiri serta perlu pengkajian ulang secara menyeluruh dan bertahap (Ihsanuddin, kompas.com).
                 Dalam konteks pendidikan dalam Spiritualitas Costantinian, Bapak Celso Costantini mampu merasakan dan mengalami kehadiran Allah dalam dirinya. Beliau mengajak kita untuk turut serta ambil bagian dalam karya keselamatan Allah menurut panggilan kita baik sebagai pendidik. Allah memang tersamarkan dalam kehidupan kita sehari-hari karena Ia memiliki sifat transenden namun Allah akan kita alami secara nyata dalam sifatNya yang imanen. Allah yang imanen dan transenden dapat secara nyata sekaligus ketika kita mencoba menghidupkan Allah itu sendiri dalam Perayaan Ekaristi yang merupakan puncak iman Kristiani. Bapak Celso mengajak kita untuk melihat Allah yang tersamarkan di alam semesta ini melalui karya maha agung ciptaanNya dan secara lebih dekat lagi dalam karya panggilan kita sebagai pendidik.
                 Apa urgensinya sehingga Spiritualitas Costantinian perlu diterapkan? Justru inilah yang utama dan seharusnya diterapkan di lembaga pendidikan Katolik dengan pola asuhan berkiblat pada Spiritualitas Costantinian. Dengan demikian urgensi penerapan Spiritualitas Costantinian untuk membimbing tiap pribadi pendidik di dalamnya agar mampu menemukan nilai spiritualitas itu sendiri; sebagai pendidik/ guru, Allah sungguh hadir dalam berbagai karakter siswa yang dihadapi tiap-tiap pendidik. Setiap perjumpaan yang terjadi dipahami sebagai perjumpaan dengan Allah. Jika pemahaman tiap pribadi pendidik demikian niscaya sekolah-sekolah asuhan Yayasan Pendidikan Kalimantan akan memancarkan sinar surga kecil dari Jalan KS. Tubun 03 Pontianak.

Langkah Strategis dalam Menabur Kebajikan Spiritualitas Costantinian
              Nilai-nilai kebajikan yang diwariskan Bapak Celso Costantini cukup untuk membangun dunia baru yang penuh kedamaian dan sukacita. Sekarang, nilai-nilai kebajikan dalam Spiritualitas Costantinian berada di depan mata dan telah dialami sendiri. Memang sangat dibutuhkan semangat untuk rela dan mau menjadi penabur hal-hal baik sehubungan dengan Spiritualitas Costantinian di lingkungan karya/ unit masing-masing.  Berikut ini saya paparkan langkah-langkah strategis dalam menabur kebajikan Spiritualitas Costantinian:
1.    Rasa hormat  (respect)
Menanamkan nilai rasa hormat pada sesama gampang-gampang susah untuk dilakukan. Menurut Gordon Allport (psychologymania.com) seorang tokoh Psikologi Humanistik, “Kepribadian adalah organisasi dinamis dari sistem-sistem psikofisik individu yang menentukan caranya yang khas untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya”. Suatu lingkungan kerja dimana seorang pemimpin memperlakukan bawahan yang dipimpinnya tidak dengan pendekatan otoritas kepemimpinannya namun melalui pendekatan personal dengan memperhatikan norma dan aturan dalam memimpin niscaya dengan sendirinya rasa hormat terhadap pemimpin akan terjadi. Lingkungan kerja juga dengan sendirinya akan terjadi rasa saling menghormati satu sama lain. Namun apabila sebaliknya yang terjadi bahkan tanpa memandang hak-hak pribadi bawahannya maka yang terjadi adalah rasa hormat semu; pemimpin bukan sebagai panutan tetapi hanya berperan sebagai bos.

2.    Bertanggung jawab (responsibility)
Sama halnya dengan menaruh rasa saling menghormati, jiwa penuh tanggung jawab juga akan tercipta dengan sendirinya apabila lingkungan kerja mendukung  untuk melaksakan tanggung jawab sebaik-baiknya. Jika pada diri siswa, rasa tanggung jawab dapat dilatih dengan memberikan tugas rumah dengan perintah yang jelas apa yang harus dikerjakan serta kapan waktu pengumpulan tugas tersebut. Berdasarkan pengalaman, beberapa tugas yang diberikan untuk dikerjakan di rumah tidak sepenuhnya dikerjakan oleh siswa; guru les atau orang tua sendiri yang mengerjakannya. Nah, dalam hal ini untuk melatih tanggung jawab pada diri siswa sangat dibutuhkan komunikasi langsung baik dengan orang tua atau wali siswa. Hal ini dibiasakan secara berkelanjutan hingga hasil akhir, siswa tersebut akhirnya mampu menyelesaikan tugas rumahnya sendiri dengan hasil sesuai kemampuannya dan penuh tanggung jawab.
3.    Kasih (love)
Nilai kebajikan yang ditanamkan oleh Bapak Celso Costantini merujuk pada ajaran Yesus tentang kasih, “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati” (bdk. Luk 6:36). Contoh konkret selalu dilakukan oleh para siswa ketika saat pengumpulan sumbangan yang bersifat insidental misalnya seorang siswa mengalami situasi duka, ketika diberitahukan akan mengumpulkan sumbangan maka dengan antusiasnya mereka memberikan sumbangan demi berbela rasa dengan sesama teman yang berduka. Demikian halnya pula ketika mengumpulkan Aksi Puasa Pembangunan dan Aksi Sosial Natal (aksi rutin yang dilakukan setiap tahunnya). Pembiasaan melakukan perbuatan kasih secara nyata tidaklah sulit asalkan dilakukan secara berkelanjutan dan perlu bimbingan untuk menjelaskan tujuan mengapa melakukan perbuatan tersebut. Upaya pengamalan kasih juga telah diperbaharui kembali di lingkungan Yayasan Pendidikan Kalimantan, Pontianak untuk menyambut siswa yang tiba di sekolah dengan menyapa dan menyalami mereka. Hal ini akan dilakukan secara terus-menerus hingga menjadi suatu budaya dan karakter yang ada di lingkungan sekolah. Urgensi pengamalan nilai kasih yang sudah saya lakukan di sekolah ialah dengan berusaha mendidik secara personal dengan cara melakukan pendekatan pada siswa secara personal. Jika dikatakan sulit, maka jawabannya “iya memang sulit”, namun selama ini terus dijalani sepenuh hati maka tujuan pendekatan secara personal kepada para siswa pasti tercapai, misalnya saya dapat mengenal kepribadian siswa sehingga dapat menentukan pembelajaran yang sesuai dengan latar kepribadiannya. Salah satu contohnya, siswa A berasal dari keluarga yang orang tuanya selalu sibuk dengan pekerjaannya. Dalam kesehariannya, rasa malas selalu dominan dari keinginan untuk belajar, karena dia merasa tidak ada yang memperdulikannya. Pada awalnya, siswa ini sangat sulit untuk mau terbuka pada saya namun pendekatan demi pendekatan akhirnya dia mau bercerita bahkan akhirnya semangat belajarnya kembali muncul. Saya tidak mengatakan pendekatan secara personal ini akan berhasil sepenuhnya namun paling tidak si anak terbangun motivasi belajarnya sehingga mampu berorientasi jauh ke depan dalam belajarnya sekarang.
4.    Penuh Syukur (gratitude)
Sebagai seorang guru yang mengajar Pendidikan Agama Katolik saya selalu mengajak para siswa untuk selalu bersyukur, terlebih bersyukur untuk hidup. Hal yang paling sederhana namun terkadang lupa kita lakukan. Inti doa yang saya ajarkan pada para siswa bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk hidup. 
Contoh doa malam “Tuhan terima kasih untuk kesempatan hidup hari ini, terima kasih untuk segalanya yang boleh aku alami. Amin”;
Contoh doa pagi “Tuhan terima kasih karena Engkau masih memberikaku hidup, semoga hidupku hari ini lebih bermakna terutama untuk orang lain. Amin”.
Perayaan Ekaristi yang diadakan setiap bulan juga mengajak para siswa dan semua pribadi yang ikut didalamnya untuk selalu bersyukur dalam perayaan puncak keselamatan yaitu Perayaan Ekaristi. Bagi saya, mempersiapkan keperluan untuk Perayaan Ekaristi sama halnya untuk mempersiapkan kedatangan Tuhan yang hadir ditengah-tengah kita dan menyelamatkan kita dari dosa dan dalam keutamaan Costantinian juga kita diajak untuk terlibat dalam Zelus Animarum atau diartikan sebagai penyelamatan jiwa-jiwa atau semangat penyelamatan jiwa-jiwa (Pendidikan Nilai Costantinian: 69).

              Ada daya upaya untuk melangkah ke arah yang lebih baik, seiring dengan itu ada pula hambatan-hambatan yang memperlambat bahkan menghentikan usaha-usaha dalam menerapkan Spiritualitas Costantinian. Selama saya bekerja di sekolah asuhan Yayasan Pendidikan Kalimantan ini, Spiritualitas Costantinian menjadi bagian pokok acuan dalam berkarya. Dalam praksis pengajaran PAK saya berusaha menghantar para siswa untuk mampu mengalami Allah adalah setiap situasi. Namun untuk menghantar pribadi pada pemahaman yang sejati akan Kasih Kristus melalui Spiritualitas Costantinian tidaklah mudah, dibutuhkan tekad baja, semangat tinggi, pantang menyerah dan profesionalitas di bidang karya kerasulan.
              Hambatan-hambatan yang muncul dalam proses pengamalan Spiritualitas Costantinian bukan hanya terjadi dari luar, namun dalam diri saya juga terkadang menjadi hambatan untuk sampai pada pemahaman sejati pada proses pengamalan Spiritualitas Costantinian. Berikut ini hambatan-hambatannya:
1.    Tanggungjawab dan komunikasi yang kurang baik
Beberapa pribadi pada diri siswa memang nampak kurang tertanamkan jiwa tanggung jawab sejak dini bahkan keadaan itu diperparah dengan cara memperlakukan anak oleh orang tua yang cenderung memanjakan, sementara si anak dituntut untuk selalu mengejar nilai sempurna. Berhadapan dengan situasi sekolah, si anak akan sangat lembek. Jika menemui sedikit kesulitan akan mudah mengeluh. Dalam hal ini nilai-nilai negatif tumbuh subur pada diri anak/ siswa; misalnya tidak bertanggung jawab, bermental kerupuk, tidak percaya pada kemampuan diri sendiri dan terkadang kurang dalam hal kejujuran. Kasus seperti ini beberapa kali saya alami. Solusi yang dilakukan adalah mengundang orang tua murid untuk membicarakan perihal ini di sekolah, memberi surat peringatan pada guru les agar menggunakan peranannya sebagai guru les dengan baik, bukan membodohi namun membimbing anak menuju kedewasaan pribadi, melakukan pendekatan personal dengan diri siswa. Tidak cukup satu kali atau dua kali hal ini dilakukan, namun secara berkelanjutan.
2.    Perkembangan teknologi yang cepat
Tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi berkembang begitu cepat. Hampir di seluruh dunia terkena imbas perkembangan teknologi, tanpa terkecuali di sekolah-sekolah asuhan Yayasan Pendidikan Kalimantan. Saya pernah mencoba membuat pengajaran berbasis blog. Materi tertulis pembelajaran, contoh soal, kisah-kisah naratif-inspiratif dan gambar-gambar pendukung saya ­share-kan di alamat blog. Memang ada dukungan dari orang tua siswa, namun karena minimnya pengawasan dari orang tua siswa yang juga sibuk pada pekerjaannya, akhirnya cara tersebut saya hentikan kemudian beralih kembali pada cara konvensional namun tetap menggunakan unsur teknologi audio-visual serta naratif eksperensial.
3.    Bosan dengan rutinitas dan merasa kurang mendapat dukungan
Hambatan yang satu ini terjadi pada diri saya sendiri. Saya menyebut ini “hambatan” karena jelas ketika saya merasa dalam lingkaran situasi tersebut di atas maka semua aktivitas keseharian terutama di sekolah akan terasa berjalan sangat lambat. Rasa bosan dengan rutinitas terkadang muncul secara tiba-tiba. Saat ini satu pegangan kuat saya dalam melanjutkan karya di sekolah asuhan Yayasan Pendidikan Kalimantan yaitu keyakinan akan Zelus Animarum atau penyelamatan jiwa-jiwa. Apa yang saya lakukan untuk menghantar pribadi pada Yesus Kristus bagi saya itulah bentuk penyelamatan jiwa-jiwa. Seperti Bapak Celso Costantini menjadikan keutamaan  Zelus Animarum dalam tugas dan karyanya. Beliau berpendapat bahwa “Penyelamatan jiwa-jiwa adalah tugas utama yang tidak bisa ditinggalkan. Dengan keutamaan ini, dimaksudkan upaya untuk memperkenalkan sekaligus membantu manusia agar dapat menemukan dan merasakan kebaikan Allah” (Pendidikan Nilai Costantinian: 70).
              Sebagai guru yang terpanggil dalam karya di bidangnya, saya berharap semua pihak yang turut andil di dalamnya juga mampu menghidupi Spiritualitas Costantinian. Saya sendiri sebagai pendidik yang mengampu pelajaran Pendidikan Agama Katolik saya akan berusaha semaksimal mungkin agar Spiritualitas Costantinian terus dihidupi dalam setiap karya-usaha yang saya lakukan di mana saya ditugaskan.

              Seperti yang diharapakan Bapak Celso Costantini yaitu Allah adalah segalanya. Dalam setiap situasi Allah ada, walau sosok Allah yang transenden namun kita mencoba menghidupkan kepekaan kita terhadap cara hadirnya Allah (bdk. Pendidikan Nilai Costantinian: 61). Oleh karena itu harusnya kita selalu bersemangat dan bergembira dalam melaksanakan tugas dan panggilan kita dalam situasi apapun karena yakin bahwa Allah itu ada, Allah beserta kita.


Ditulis oleh John Ariyo                                        
                                 
Guru di SD Katolik Karya Yosef, Pontianak
Bagian dari Karya Misi CDD di Bidang Pendidikan di Tanah Borneo
“Omnia pro Eccclesia”



0 comments:

Post a Comment