Sebuah Refleksi dari Seorang Guru Pendidikan Agama
Katolik di Lembaga Pendidikan yang menghayati semangat hidup Celso Costantini, Pendiri Kongregasi Murid-murid Tuhan (CDD)
Tongkat
pendidikan di Indonesia telah tertancapkan jauh sebelum Indonesia merdeka.
Berbicara mengenai pendidikan tentu tidak akan lepas dari sejarah perkembangan
pendidikan di Indonesia hingga sekarang. Lika-liku pendidikan di Tanah Air
ibarat pertumbuhan manusia; mulai dari lahir, belajar berbicara, merangkak,
berdiri, berjalan dan berlari. Adakalanya dia terjatuh dan terluka bahkan
hingga parah namun ia bangkit lagi. Demikian halnya dengan pendidikan di
Indonesia; memasuki abad ke 16 bangsa Portugis dan Belanda mendirikan
sekolah-sekolah di Indonesia bagian Timur (Nusantara) dengan tujuan mengajarkan
masyarakat untuk pandai membaca, menulis dan berhitung sekaligus memudahkan
mereka dalam misi evangelisasi.
Memasuki
masa pendudukan Jepang, sistem pendidikan sebelumnya dihentikan. Jepang
menyediakan sekolah rakyat atau disebut Kokumin
Gakko sebagai pendidikan dasar, sekolah menengah sebagai pendidikan
menengah dan sekolah kejuruan bagi guru (https://forumbitcoin.co.id).
Pendidikan di Indonesia pun mulai menggeliat setelah Indonesia merdeka. Ki
Hajar Dewantara berupaya keras untuk memajukan pendidikan di Tanah Air salah
satunya dengan menyusun kurikulum SR 1947 yang terdiri dari 15 mata pelajaran.
Dari
masa ke masa sangat terlihat jelas pendidikan di Indonesia merangkak menuju
kedewasaannya. Dukungan dari pemerintah pun sangat jelas dengan mengalokasikan
anggaran lebih besar untuk kebutuhan pendidikan, merekrut banyak guru, mencetak
buku pelajaran dan mendirikan pusat pelatihan keterampilan; hal ini dilakukan
seiring dengan meningkatnya mutu dan partisipasi pendidikan di Indonesia serta
berkembangnya minat untuk mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Tanpa mengesampingkan
pihak swasta, terutama lembaga swasta Katolik dalam hal ini peran serta
biarawan-biarawati yang memiliki misi di bidang pendidikan. Tanpa menutup
sebelah mata, dasar pendidikan di Indonesia sebenarnya telah diperkuat oleh
para misionaris Eropa. Hingga saat ini pendidikan di Tanah Air masih terus
mengalami kemajuan yang signifikan terlebih pada sekolah-sekolah yang dikelola
oleh pihak biarawan-biarawati. Mutu dan kualitas pendidikan di dalamnya sangat
mendapat perhatian yang serius sehingga kuantitasnya terus meningkat.
Para
biarawan yang turut berperan serta dalam karya pendidikan di Indonesia salah
satunya adalah Biarawan dari Kongregasi Murid-murid Tuhan (CDD). Berbekal dari
semangat suci Celso Costantini, Bapak Pendiri CDD yang selalu memberi perhatian
khusus pada pendidikan pendampingan kaum muda, beliau pernah menulis:
“Kaum muda
adalah musim semi kehidupan, tunas muda. Jikalau tunas muda itu diberkati
dengan musim yang baik, ia akan berkembang dalam keindahan dan akan
menghasilkan buah-buah di musim kemarau. Akan tetapi apabila perkembangannya
itu terganggu dan dirusak oleh embun beku, oleh kekeringan atau oleh banjir,
tidak ada kompromi lagi panen gagal. Demikianlah kaum muda, dibentuk oleh
bunga-bunga kehidupan yang pada waktunya akan memberikan buah-buah yang
optimal, jikalau bunga itu tidak rusak” (IVAD
Bab XXVI). Berangkat dari semangat
inilah maka para Imam CDD bertekad untuk ikut ambil bagian dalam usaha memajukan
pendidikan di Indonesia, dan telah terbukti berhasil.
Hidup
dan berkarya dalam komunitas pendidikan memang memiliki tantangan tersendiri. Terlebih
ketika berbicara sebagai guru yang mengampu mata pelajaran Pendidikan Agama
Katolik dan berada di lembaga pendidikan Katolik. Namun harus tetap yakin akan
penyertaan Tuhan, walau melewati tantangan sekeras apapun keyakinan itu harus
tetap tumbuh hari demi hari. Raja Daud dalam Perjanjian Lama pernah membuktikan
akan hal tersebut,
“Sekalipun aku
berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku;
gadaMu dan tongkatMu, itulah yang menghibur aku” (bdk. Mzm 23:4).
Bapak
Celso Costantini memahami dan menghayati karya Allah sungguh luar biasa. Upaya
kontemplasi yang dilakukannya berhasil dengan menyebut Allah sebagai “Yang
Hidup”. Sungguh suatu pernyataan iman yang tak bisa dibantah. Kita tahu bahwa
dewasa ini banyak ditemukan kasus-kasus bunuh diri, perampokan, pembantaian
ras/ etnis, perang saudara dan lain-lain. Hal ini seharusnya tidak terjadi jika
semua orang menyakini dalam imannya akan “Allah Yang Hidup”. Bukan itu saja
spiritualitas yang dibagikan oleh Bapak Celso, misalnya ia menyebut “Allah sungguh
hadir dalam Sakramen Mahakudus”. Di sini ia menjelaskan bahwa Allah hadir dalam
Diri Yesus Kristus dan berjalan di tengah umatNya. Allah Sang Seniman,
begitulah gambaran umum ketika Bapak Celso mencoba melihat sisi lain dari
Allah. Ia mengatakan bahwa “semesta raya
ini merupakan buah karya dari kecerdasan dan kehendak budiNya” (Celso
Costantini, Loc. Cit dalam buku Pendidikan Nilai Costantinian).
Urgensi Penerapan Spriritualitas Costantinian
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia kata urgensi
diartikan sebagai suatu keharusan yang mendesak atau hal sangat penting.
Misalnya kita dihadapkan pada suatu pilihan sulit, walau sesulit apapun cara
menentukan satu pilihan itu yaitu dengan menemukan faktor urgensi dari pilihan
tersebut. Contoh dalam penerapannya ialah ketika terjadi Pengkajian ulang Full Day School yang digagas Menteri
Pendidikan oleh Presiden Joko Widodo bukan semata-mata Presiden tidak setuju
dengan gagasan tersebut namun Presiden membuat suatu pertimbangan dengan
memperhatikan sisi urgensi dari gagasan program itu sendiri serta perlu
pengkajian ulang secara menyeluruh dan bertahap (Ihsanuddin, kompas.com).
Dalam
konteks pendidikan dalam Spiritualitas Costantinian, Bapak Celso Costantini
mampu merasakan dan mengalami kehadiran Allah dalam dirinya. Beliau mengajak
kita untuk turut serta ambil bagian dalam karya keselamatan Allah menurut
panggilan kita baik sebagai pendidik. Allah memang tersamarkan dalam kehidupan
kita sehari-hari karena Ia memiliki sifat transenden
namun Allah akan kita alami secara nyata dalam sifatNya yang imanen. Allah yang imanen dan transenden
dapat secara nyata sekaligus ketika kita mencoba menghidupkan Allah itu sendiri
dalam Perayaan Ekaristi yang merupakan puncak iman Kristiani. Bapak Celso
mengajak kita untuk melihat Allah yang tersamarkan di alam semesta ini melalui
karya maha agung ciptaanNya dan secara lebih dekat lagi dalam karya panggilan
kita sebagai pendidik.
Apa
urgensinya sehingga Spiritualitas Costantinian perlu diterapkan? Justru inilah
yang utama dan seharusnya diterapkan di lembaga pendidikan Katolik dengan pola
asuhan berkiblat pada Spiritualitas Costantinian. Dengan demikian urgensi penerapan Spiritualitas Costantinian untuk
membimbing tiap pribadi pendidik di dalamnya agar mampu menemukan nilai
spiritualitas itu sendiri; sebagai pendidik/ guru, Allah sungguh hadir dalam
berbagai karakter siswa yang dihadapi tiap-tiap pendidik. Setiap perjumpaan
yang terjadi dipahami sebagai perjumpaan dengan Allah. Jika pemahaman tiap
pribadi pendidik demikian niscaya sekolah-sekolah asuhan Yayasan Pendidikan
Kalimantan akan memancarkan sinar surga kecil dari Jalan KS. Tubun 03
Pontianak.
Langkah Strategis dalam Menabur Kebajikan Spiritualitas
Costantinian
Nilai-nilai kebajikan yang
diwariskan Bapak Celso Costantini cukup untuk membangun dunia baru yang penuh
kedamaian dan sukacita. Sekarang, nilai-nilai kebajikan dalam Spiritualitas
Costantinian berada di depan mata dan telah dialami sendiri. Memang sangat
dibutuhkan semangat untuk rela dan mau menjadi penabur hal-hal baik sehubungan
dengan Spiritualitas Costantinian di lingkungan karya/ unit masing-masing. Berikut ini saya paparkan langkah-langkah
strategis dalam menabur kebajikan Spiritualitas Costantinian:
1. Rasa hormat (respect)
Menanamkan nilai rasa hormat pada sesama gampang-gampang susah untuk dilakukan. Menurut
Gordon Allport (psychologymania.com) seorang tokoh Psikologi Humanistik, “Kepribadian adalah organisasi dinamis dari
sistem-sistem psikofisik individu yang menentukan caranya yang khas untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungannya”. Suatu lingkungan kerja dimana
seorang pemimpin memperlakukan bawahan yang dipimpinnya tidak dengan pendekatan
otoritas kepemimpinannya namun melalui pendekatan personal dengan memperhatikan
norma dan aturan dalam memimpin niscaya dengan sendirinya rasa hormat terhadap
pemimpin akan terjadi. Lingkungan kerja juga dengan sendirinya akan terjadi
rasa saling menghormati satu sama lain. Namun apabila sebaliknya yang terjadi
bahkan tanpa memandang hak-hak pribadi bawahannya maka yang terjadi adalah rasa
hormat semu; pemimpin bukan sebagai panutan tetapi hanya berperan sebagai bos.
2. Bertanggung jawab (responsibility)
Sama halnya dengan menaruh rasa saling menghormati, jiwa
penuh tanggung jawab juga akan tercipta dengan sendirinya apabila lingkungan
kerja mendukung untuk melaksakan
tanggung jawab sebaik-baiknya. Jika pada diri siswa, rasa tanggung jawab dapat
dilatih dengan memberikan tugas rumah dengan perintah yang jelas apa yang harus
dikerjakan serta kapan waktu pengumpulan tugas tersebut. Berdasarkan
pengalaman, beberapa tugas yang diberikan untuk dikerjakan di rumah tidak
sepenuhnya dikerjakan oleh siswa; guru les atau orang tua sendiri yang
mengerjakannya. Nah, dalam hal ini untuk melatih tanggung jawab pada diri siswa
sangat dibutuhkan komunikasi langsung baik dengan orang tua atau wali siswa.
Hal ini dibiasakan secara berkelanjutan hingga hasil akhir, siswa tersebut
akhirnya mampu menyelesaikan tugas rumahnya sendiri dengan hasil sesuai
kemampuannya dan penuh tanggung jawab.
3. Kasih (love)
Nilai kebajikan yang ditanamkan oleh Bapak Celso
Costantini merujuk pada ajaran Yesus tentang kasih, “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati”
(bdk. Luk 6:36). Contoh konkret selalu dilakukan oleh para siswa ketika saat
pengumpulan sumbangan yang bersifat insidental misalnya seorang siswa mengalami
situasi duka, ketika diberitahukan akan mengumpulkan sumbangan maka dengan
antusiasnya mereka memberikan sumbangan demi berbela rasa dengan sesama teman
yang berduka. Demikian halnya pula ketika mengumpulkan Aksi Puasa Pembangunan
dan Aksi Sosial Natal (aksi rutin yang dilakukan setiap tahunnya). Pembiasaan
melakukan perbuatan kasih secara nyata tidaklah sulit asalkan dilakukan secara
berkelanjutan dan perlu bimbingan untuk menjelaskan tujuan mengapa melakukan
perbuatan tersebut. Upaya pengamalan kasih juga telah diperbaharui kembali di
lingkungan Yayasan Pendidikan Kalimantan, Pontianak untuk menyambut siswa yang
tiba di sekolah dengan menyapa dan menyalami mereka. Hal ini akan dilakukan
secara terus-menerus hingga menjadi suatu budaya dan karakter yang ada di
lingkungan sekolah. Urgensi pengamalan nilai kasih yang sudah saya lakukan di
sekolah ialah dengan berusaha mendidik secara personal dengan cara melakukan
pendekatan pada siswa secara personal. Jika dikatakan sulit, maka jawabannya
“iya memang sulit”, namun selama ini terus dijalani sepenuh hati maka tujuan
pendekatan secara personal kepada para siswa pasti tercapai, misalnya saya
dapat mengenal kepribadian siswa sehingga dapat menentukan pembelajaran yang
sesuai dengan latar kepribadiannya. Salah satu contohnya, siswa A berasal dari
keluarga yang orang tuanya selalu sibuk dengan pekerjaannya. Dalam kesehariannya,
rasa malas selalu dominan dari keinginan untuk belajar, karena dia merasa tidak
ada yang memperdulikannya. Pada awalnya, siswa ini sangat sulit untuk mau
terbuka pada saya namun pendekatan demi pendekatan akhirnya dia mau bercerita
bahkan akhirnya semangat belajarnya kembali muncul. Saya tidak mengatakan
pendekatan secara personal ini akan berhasil sepenuhnya namun paling tidak si
anak terbangun motivasi belajarnya sehingga mampu berorientasi jauh ke depan
dalam belajarnya sekarang.
4. Penuh Syukur (gratitude)
Sebagai seorang guru yang mengajar Pendidikan Agama
Katolik saya selalu mengajak para siswa untuk selalu bersyukur, terlebih
bersyukur untuk hidup. Hal yang paling sederhana namun terkadang lupa kita
lakukan. Inti doa yang saya ajarkan pada para siswa bersyukur karena masih
diberi kesempatan untuk hidup.
Contoh doa malam “Tuhan terima kasih untuk kesempatan
hidup hari ini, terima kasih untuk segalanya yang boleh aku alami. Amin”;
Contoh doa pagi “Tuhan terima kasih karena Engkau masih
memberikaku hidup, semoga hidupku hari ini lebih bermakna terutama untuk orang
lain. Amin”.
Perayaan Ekaristi yang diadakan setiap bulan juga
mengajak para siswa dan semua pribadi yang ikut didalamnya untuk selalu
bersyukur dalam perayaan puncak keselamatan yaitu Perayaan Ekaristi. Bagi saya,
mempersiapkan keperluan untuk Perayaan Ekaristi sama halnya untuk mempersiapkan
kedatangan Tuhan yang hadir ditengah-tengah kita dan menyelamatkan kita dari
dosa dan dalam keutamaan Costantinian juga kita diajak untuk terlibat dalam Zelus Animarum atau diartikan sebagai
penyelamatan jiwa-jiwa atau semangat penyelamatan jiwa-jiwa (Pendidikan Nilai Costantinian: 69).
Ada daya upaya untuk
melangkah ke arah yang lebih baik, seiring dengan itu ada pula
hambatan-hambatan yang memperlambat bahkan menghentikan usaha-usaha dalam
menerapkan Spiritualitas Costantinian. Selama saya bekerja di sekolah asuhan
Yayasan Pendidikan Kalimantan ini, Spiritualitas Costantinian menjadi bagian
pokok acuan dalam berkarya. Dalam praksis pengajaran PAK saya berusaha
menghantar para siswa untuk mampu mengalami Allah adalah setiap situasi. Namun
untuk menghantar pribadi pada pemahaman yang sejati akan Kasih Kristus melalui Spiritualitas
Costantinian tidaklah mudah, dibutuhkan tekad baja, semangat tinggi, pantang menyerah
dan profesionalitas di bidang karya kerasulan.
Hambatan-hambatan yang
muncul dalam proses pengamalan Spiritualitas Costantinian bukan hanya terjadi
dari luar, namun dalam diri saya juga terkadang menjadi hambatan untuk sampai
pada pemahaman sejati pada proses pengamalan Spiritualitas Costantinian.
Berikut ini hambatan-hambatannya:
1. Tanggungjawab dan komunikasi yang kurang baik
Beberapa pribadi pada diri siswa memang nampak kurang
tertanamkan jiwa tanggung jawab sejak dini bahkan keadaan itu diperparah dengan
cara memperlakukan anak oleh orang tua yang cenderung memanjakan, sementara si anak dituntut untuk selalu mengejar nilai
sempurna. Berhadapan dengan situasi sekolah, si anak akan sangat lembek. Jika menemui sedikit kesulitan
akan mudah mengeluh. Dalam hal ini nilai-nilai negatif tumbuh subur pada diri
anak/ siswa; misalnya tidak bertanggung jawab, bermental kerupuk, tidak percaya pada kemampuan diri sendiri dan terkadang
kurang dalam hal kejujuran. Kasus seperti ini beberapa kali saya alami. Solusi
yang dilakukan adalah mengundang orang tua murid untuk membicarakan perihal ini
di sekolah, memberi surat peringatan pada guru les agar menggunakan peranannya
sebagai guru les dengan baik, bukan membodohi namun membimbing anak menuju
kedewasaan pribadi, melakukan pendekatan personal dengan diri siswa. Tidak
cukup satu kali atau dua kali hal ini dilakukan, namun secara berkelanjutan.
2. Perkembangan teknologi yang cepat
Tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi berkembang begitu
cepat. Hampir di seluruh dunia terkena imbas perkembangan teknologi, tanpa
terkecuali di sekolah-sekolah asuhan Yayasan Pendidikan Kalimantan. Saya pernah
mencoba membuat pengajaran berbasis blog.
Materi tertulis pembelajaran, contoh soal, kisah-kisah naratif-inspiratif dan
gambar-gambar pendukung saya share-kan
di alamat blog. Memang ada dukungan
dari orang tua siswa, namun karena minimnya pengawasan dari orang tua siswa
yang juga sibuk pada pekerjaannya, akhirnya cara tersebut saya hentikan
kemudian beralih kembali pada cara konvensional namun tetap menggunakan unsur
teknologi audio-visual serta naratif eksperensial.
3. Bosan dengan rutinitas dan merasa kurang mendapat
dukungan
Hambatan yang satu ini terjadi pada diri saya sendiri.
Saya menyebut ini “hambatan” karena jelas ketika saya merasa dalam lingkaran situasi
tersebut di atas maka semua aktivitas keseharian terutama di sekolah akan terasa
berjalan sangat lambat. Rasa bosan dengan rutinitas terkadang muncul secara
tiba-tiba. Saat ini satu pegangan kuat saya dalam melanjutkan karya di sekolah
asuhan Yayasan Pendidikan Kalimantan yaitu keyakinan akan Zelus Animarum atau penyelamatan jiwa-jiwa. Apa yang saya lakukan
untuk menghantar pribadi pada Yesus Kristus bagi saya itulah bentuk
penyelamatan jiwa-jiwa. Seperti Bapak Celso Costantini menjadikan keutamaan Zelus
Animarum dalam tugas dan karyanya. Beliau berpendapat bahwa “Penyelamatan jiwa-jiwa adalah tugas utama
yang tidak bisa ditinggalkan. Dengan keutamaan ini, dimaksudkan upaya untuk
memperkenalkan sekaligus membantu manusia agar dapat menemukan dan merasakan
kebaikan Allah” (Pendidikan Nilai Costantinian: 70).
Sebagai
guru yang terpanggil dalam karya di bidangnya, saya berharap semua pihak yang
turut andil di dalamnya juga mampu menghidupi Spiritualitas Costantinian. Saya
sendiri sebagai pendidik yang mengampu pelajaran Pendidikan Agama Katolik saya
akan berusaha semaksimal mungkin agar Spiritualitas Costantinian terus dihidupi
dalam setiap karya-usaha yang saya lakukan di mana saya ditugaskan.
Seperti
yang diharapakan Bapak Celso Costantini yaitu Allah adalah segalanya. Dalam setiap situasi Allah ada, walau sosok
Allah yang transenden namun kita
mencoba menghidupkan kepekaan kita terhadap cara hadirnya Allah (bdk. Pendidikan Nilai Costantinian: 61).
Oleh karena itu harusnya kita selalu bersemangat dan bergembira dalam
melaksanakan tugas dan panggilan kita dalam situasi apapun karena yakin bahwa
Allah itu ada, Allah beserta kita.
Ditulis oleh John Ariyo
Guru di SD Katolik Karya Yosef, Pontianak
Bagian dari Karya Misi CDD di
Bidang Pendidikan di Tanah Borneo
“Omnia pro Eccclesia”
0 comments:
Post a Comment